Senin 11 Mar 2019 07:43 WIB

Pendidikan Era Kolonial; Pembeda Pribumi Ningrat dan Melarat

Diskriminasi terjadi kepada anak-anak pribumi dalam dunia pendidikan di era kolonial

Suasana di ruang kelas HIS (Holland Inlandsche School)
Foto: Tangkapan layar.
Suasana di ruang kelas HIS (Holland Inlandsche School)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Pada awal 1950, ketika Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia, 90 persen rakyat masih buta huruf (BH). Karenanya, di kampung-kampung melalui RT dan RK (kini RW), digalakkan gerakan pemberantasan BH.

Saat banyak pabrik dan modal asing masuk ke Hindia Belanda pada awal abad ke-20, Pemerintah Belanda baru mulai membangun sekolah di Hindia Belanda. Alasannya mereka memerlukan pekerja yang berpendidikan.

Namun lagi-lagi diskriminasi terhadap pribumi terjadi. Khusus untuk pribumi, mula-mula didirikan sekolah desa dengan lama pendidikan tiga tahun. Sekadar bisa baca, nulis, dan berhitung.

Kemudian, dibuka sekolah sambungan (vervolgscholen) dengan lama pendidikan lima tahun dan kemudian ditingkatkan menjadi enam tahun. Semuanya dengan pengantar bahasa Melayu (kini Indonesia).

Di masa itu, Normaalschool merupakan sekolah pendidikan tertinggi yang dapat dicapai mereka yang sekolah Melayu. Pemerintah Kolonial lebih mengistimewakan sekolah yang menggunakan pengantar bahasa Belanda, seperti HIS (Holland Inlandsche School) setingkat SD sekarang. HIS khusus untuk anak pribumi. Namun yang diterima tidak sembarang orang, karena sekolah ini khusus untuk anak-anak golongan ningrat atau priyayi. Anak dari keluarga melarat atau tidak mampu jangan harap bisa sekolah tinggi.

Sedangkan anak Belanda/Eropa atau mereka yang disamakan kedudukannya dengan warga Eropa, didirikan Europe Lager School (ELS). Setamat HIS atau ELS dapat melanjutkan ke MULO (SMP) lalu ke AMS (SMA). Murid-murid jebolan HIS-ELS murid-dapat melanjutkan pendidikan selama lima tahun di HBS (Hogere Burger School).

Sejak di HBS para siswa sudah diwajibkan menguasai bahasa Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Tidak heran, bila Bung Karno dalam usia belum 20 tahun saat di HBS sudah membaca buku dan literatur dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis. Demikian pula H Agus Salim.

Awalnya, jika pelajar ingin lanjutkan ke perguruan tinggi, ia harus ke Belanda. Tapi, pada 1924 didirikan Technische Hoge School (Sekolah Teknik Tinggi) di Bandung atau ITB sekarang. Pada waktu bersamaan di Batavia didirikan Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hakim). Kini gedungnya ditempati Departemen Hankam di Jl Merdeka Barat.

Tiga tahun kemudian berdiri Sekolah Tinggi Kedokteran yang kini menjadi Fakultas Kedokteran UI di Salemba. Sebelumnya, pada 1851 berdiri STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera) yang pada 1908 para siswanya mendirikan gerakan Budi Utomo, yang dikenal dengan Kebangkitan Nasional.

Kalau dilihat pendidikan nasional hanya untuk kepentingan kelompok-kelompok bangsawan atau priyayi, tapi apa bedanya dengan sekarang? Pendidikan sekarang hanya dinikmati kelompok berduit, sementara yang miskin harus tersingkir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement