Selasa 19 Feb 2019 13:03 WIB

Masih Bertengkar Soal Khilafiah? Belajarlah pada KH Syafi'ie

Kiai Syafi'ie keras melawan kezaliman, tapi tak suka bertengkar dengan sesama Muslim.

KH Abdullah Syafi’ie
Foto: Tangkapan layar
KH Abdullah Syafi’ie

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Jakarta berduka, ketika siaran radio As-Syafi’iyah setelah Subuh tanggal 3 September 1985 mengumumkan meninggalnya KH Abdullah Syafi’ie. Tidak lagi terdengar suara lantang ulama Betawi itu, yang sejak 1967 selalu mengumandangkan dakwahnya setiap habis subuh.

Radio yang banyak pendengarnya itu, terus mengumandangkan ayat-ayat suci Alquran. Dengan suara lirih, penyiar mengumumkan meninggalnya almarhum dalam usia 75 tahun, pukul 00.30 saat menuju RS Islam.

Ratusan ribu warga Ibu Kota sejak pagi berduyun-duyun melayat ke kediamannya di Kampung Bali Matraman, Jakarta Selatan. Masjid Al-Barkah, yang dibangunnya ketika almarhum berusia 23 tahun, harus berkali-kali menampung para jamaah saat berlangsung shalat jenazah. Sementara suara takbir, tahlil, dan tahmid berkumandang.

Menurut KH Abdul Rasyid, putra Kiai Syafi'ie, ayahnya banyak mendorong generasi muda Islam untuk maju. Dengan mengajak dan memperkenalkan mereka di berbagai pengajian dan majelis taklim. Di antara dai muda yang dibinanya itu kemudian menjadi mubaligh-mubaligh andal.

Kiai Abdul Rasyid mengumpamakan ayahnya sebagai salah satu dari ulama Betawi yang ‘membabat hutan jahiliyah’. Karena ketegasannya dalam beramar makruf nahi munkar. Bahkan, pada usia muda, dengan mengendarai sepeda motor mendatangi berbagai pelosok kampung di seantero Jakarta.

Ketika gubernur Ali Sadikin pada akhir 1960-an menggelar judi hwaa hwee, Kiai Abdullah Syafi’ie habis-habisan menentangnya. Hal yang sama juga dilakukan terhadap aliran kepercayaan, yang ketika itu hendak dilegalkan sebagai bagian dari agama.

Almarhum tanpa mengenal ampun melabrak ketika RUU Perkawinan hendak disahkan, karena dianggap melanggar kaidah-kaidah agama. Menghadapi berbagai tantangan dalam berdakwah, termasuk backing-backingan, tidak membuatnya jera. Karena ia paling tidak senang melihat perbuatan zalim dan syirik.

Seperti juga ulama Betawi lainnya, almarhum tidak suka mengungkit-ngungkit apalagi harus saling bertengkar sesama umat dalam soal-soal khilafiah. Bagi beliau yang paling penting ialah bagaimana membuat orang beribadah dan bertakwa.

Dikenal sebagai orang yang berhati lembut, ia selalu berseru agar orang berpunya mau menyantuni sebagian hartanya untuk kaum dhuafa dan yatim-piatu. Dia sendiri pada 1978 membangun pesantren khusus untuk yataama dan masakin, tanpa bayar di Jatiwaringin, Bekasi.

Setidaknya, menurut KH Abdul Rasyid, sudah 350 yatim piatu yang mendapat bantuan dana dari As-Syafi’iyah. Di samping bantuan berupa beras, pakaian, dan uang kepada para dhuafa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement