Rabu 30 Jan 2019 08:08 WIB

Pajak Mencekik Era Kolonial Hingga Milenial

Belanda dulu memungut pajak kepala, kuku, perjudian hingga pajak pelacuran.

Gedung peninggalan Belanda Galangan VOC, Jakarta Utara, Minggu (5/4). (Republika/Prayogi)
Gedung peninggalan Belanda Galangan VOC, Jakarta Utara, Minggu (5/4). (Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Pajak yang mencekik rakyat tidak hanya terjadi di era milenial seperti sekarang. Sejak Belanda menjajah Indonesia, berbagai pajak yang mencekik membuat rakyat kian menderita.

Gubernur Jenderal VOC JP Coen termasuk jenderal penjajah yang punya kelihaian dalam memungut pajak. Begitu dia mengangkat Souw Beng Kong sebagai Kapitan Cina, ia pun mengeluarkan peraturan pada 9 Oktober 1619: Tiap orang Cina yang berumur antara 16 sampai 60 tahun wajib membayar pajak sebesar 1,5 reak per kepala. Tidak main-main. Pajak yang cukup memberatkan itu berlaku hingga 200 tahun lebih, sampai 1900.

Ketika daratan Cina dikuasai Dinasti Qing atau Dinasti Manchu, adat istiadat dari negara di bagian utara Korea ini ditularkan kepada negara jajahannya. Maka rakyat Cina mengikuti jejak penjajah. Rambut bagian atas dicukur sampai licin, dan bagian belakang dipanjangkan kemudian dikepang atau dikuncir seperti layaknya wanita. Selain disibukkan urusan melicinkan kepala bagian atas yang cepat tumbuh seperti layaknya kita mencukur jenggot, tiap kepala juga dikenai pajak.

Bukan hanya pajak kepala. Belanda menyadari kesukaan warga Cina pada judi dan hampir dilakukan di tiap acara, termasuk saat kematian di kalangan keluarga. Belanda juga mengagumi kesenangan mereka akan seks. Maka diberlakukanlah pajak judi dan pajak rumah pelacuran (suhian).

Selain itu, masih ada pajak kuku panjang yang menandakan orang kaya yang santai. Juga pajak tembakau dan pemotongan babi.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement