Jumat 08 Feb 2019 01:37 WIB

Jejak Panjang Perayaan Imlek di Nusantara

Imlek merupakan perayaan keluarga untuk menghormati leluhur.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Karta Raharja Ucu
Suasana Imlek (ilustrasi).
Foto: Antara/Musyawir
Suasana Imlek (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Perayaan Imlek memiliki sejarah panjang di Indonesia. Imlek dirayakan etnis Tionghoa pada bulan pertama kalender lunar. Indonesia menyebut perayaan pergantian tahun itu sebagai Imlek. Sementara setiap negara, memiliki sebutan masing-masing terhadap perayaan tersebut.

Abdul Baqir Zein dalam buku Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia menulis, pernyataan seorang sosiolog dan sinolog, Mely G. Tan yang menjelaskan, Imlek bertalian dengan perayaan tahun baru menurut penanggalan lunar. Suatu tradisi yang bisa dilihat pada semua belahan dunia, yang merayakannya.

Baca Juga

Di Indonesia sendiri, Imlek pernah dirayakan secara internal. Artinya, hanya menjadi perayaan keluarga. Sebenarnya, Imlek memang merupakan perayaan keluarga. Mereka yang mempunyai meja leluhur, merayakannya untuk menghormati leluhur.

Pada 1967, ada peraturan segala perayaan yang bernuansa kebudayaan Tionghoa tidak boleh dilakukan secara umum. Sehingga, kegiatan perayaan hanya dilakukan di dalam Klenteng.

Jauh sebelum ada larangan itu, Imlek dirayakan sangat meriah. Di Jakarta, perayaan dilakukan di Glodok dengan pawai-pawaian. Di Bogor dan Cianjur, perayaan malah sangat meriah. Apalagi 15 hari sesudah Imlek, atau dinamakan Cap Go Meh.

Setelah 1967, Imlek menjadi perayaan keluarga. Tan merasa pokok dari perayaan Imlek, yakni mengunjungi dan menghormati orang tua, dan memberikan ang paw (bungkusan merah) pada anak-anak.

Aimee Dawis dalam buku Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas menuliskan, pada 1965, rezim Presiden Soeharto menerapkan kebijakan pemaksaan asimilasi yang mewajibkan masyarakat Indonesia Tionghoa melepas kebudayaan dan bahasa Mandarin. Pemerintah juga melarang penggunaan aksara di tempat umum, pengimporan barang cetakan berbahasa Mandarin, dan semua bentuk dan ungkapan berasal dari kebudayaan Tionghoa, seperti perayaan Imlek.

Keadaan orang Indonesia Tionghoa jauh lebih baik sesudah jatuhnya rezim Soeharto, setelah kerusuhan Mei 1998. Ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mulai berkuasa sebagai presiden, ada upaya mengakhiri peraturan bersifat diskriminatif terhadap penduduk Indonesia Tionghoa. Langkah awalnya, menghapus Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 1967 ihwal larangan pelaksanaan adat dan agama Tionghoa di tempat umum.

Presiden ketiga Indonesia itu menandatangani Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang mengizinkan perayaan Tahun Baru Imlek secara terbuka. Di bawah kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, Tahun Baru Imlek dijadikan hari libur nasional pada 1 Februari 2003 silam.

Sepekan sebelum 1 Februari 2003, Aimee mengisahkan seluruh Jakarta semarak dengan warna merah dan emas, bukan saja di daerah Pecinan, seperti Glodok dan Gajah Mada saja. Saat itu, peragaan boneka lucu mengenakan konstum tradisional tampil di etalase pusat-pusat perbelanjaan.

Selain di tempat-tempat umum, seperti pusat perbelanjaan, berbagai media di Indonesia juga penuh ucapan pesan Gong Xi Fa Cai (Selamat tahun Baru Imlek), mulai dari stasiun televisi hingga surat kabar. Dalam artikel berjudul 'Perayaan Imlek itu Budaya Bukan Agama' yang diterbitkan Republika, tokoh mualaf Haji Alim Karim Oey menyebut Imlek merupaan perayaan budaya, bukan agama tertentu. Haji Ali mengatakan, perayaan pergantian tahun mulai dilakukan sejak 1500 SM.

Awalnya, perayaan pergantian tahun dilakukan untuk merayakan suka cita memasuki musim bertanam. Sementara itu, ritual tertentu yang dilakukan penganut Budha di Klenteng, adalah ritual tambahan yang melekat dengan etnis Cina.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement