Ahad 11 Jun 2023 07:31 WIB

Dinkes Imbau Masyarakat Jabar Waspadai Peningkatan Kasus TBC Setiap Tahun

Meski ada peningkatan kasus, TBC belum dijadikan status KLB.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus raharjo
TBC (ilustrasi)
Foto: Dok Republika
TBC (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG----Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat (Dinkes Jabar) mengingatkan, masyarakat waspada dengan peningkatan jumlah kasus positif Tuberkulosis (TBC) tiap tahun. Kepala Bidang P2P, Dinkes Jabar, Rochady HS Wibawa mengakui ada peningkatan kasus TBC di wilayahnya sejak dua tahun belakang.

Ia mengimbau, selain harus mewaspadai kasus sifilis, masyarakat Jabar juga harus mewaspadai peningkatan TBC. Sebab, ia mengaku kasus baru terus dilaporkan dari 27 kabupaten dan kota di Jabar sejak 2021.

Baca Juga

"Untuk kasus baru TBC di Jabar itu semakin lama, semakin meningkat dan kalau kita lihat dari 2021 sekitar 92 ribu kasus baru, kemudian 2022 ada 159 ribu kasus baru, sedangkan dari Januari-April 2023 ini sudah ada 47 ribu kasus baru," ujar Rochady, Sabtu (10/6/2023).

Rochady mengatakan, penanganan TBC sendiri tergolong panjang. Selain itu, perawatannya juga tidak bisa dianggap enteng, karena obat-obatan yang dikonsumsi tergolong mahal. Belum lagi soal penularan penyakit ini yang sangat berbahaya.

"Ini kan menjadi permasalahan sebetulnya, dimana pengobatannya akan lebih lama selama enam bulan. Terus kalau menular ke anak-anak seperti apa TBC ini," katanya.

Meski kasus ini tergolong banyak, kata Rochady, kasus ini masih belum berstatus Kejadian Luar Biasa (KLB). Menurutnya, kasus ini nantinya bisa ditentukan oleh kepala daerah di kabupaten dan kota.

"TBC tidak darurat, karena kalau darurat itu kan KLB itu semua keputusannya ada di kepala daerah. Tapi setidaknya kita harus waspadai," katanya.

Terkait obat-obatan penderita TBC, menurut Rochady, obat TBC itu ada beberapa macam, dua diantaranya ada penderita sensitif obat dan resistance obat. Untuk resistance obat ini tidak bisa pakai obat-obat biasa.

"Itu obat mahal, itu satu kali pengobatan bisa sampai Rp 250 juta. Satu hari rata-rata obat yang diminum sekitar Rp 14 juta. Kalau misalnya itu menjadi dibiayai oleh APBD kayanya APBD juga bisa kehabisan," katanya.

Pemprov Jabar, kata dia, memiliki keterbatasan dalam melakukan tindakan penanganan. Karena, pemerintah kabupaten dan kota yang memiliki kebijakan penuh untuk menangani kasus itu karena memiliki wilayah. Hanya saja, Pemprov Jabar turut membantu memberikan obat di puskesmas.

"Pemprov kan tidak punya area nah yang punya area itu di kabupaten kota, dan kita mah tinggal men-support obat-obatan seperti ke puskesmas, kemudian alat-alat pemeriksaan deteksi dini juga agar selalu tersedia," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement