Rabu 07 Jun 2023 12:42 WIB

Anggota DPR Heran Penyamaan Tembakau dengan Narkotika di RUU Kesehatan

Tembakau memiliki latar belakang dan sejarah yang panjang sebagai produk legal.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Fernan Rahadi
Petani memetik daun tembakau saat berlangsungnya musim panen (ilustrasi).
Foto: Antara/Siswowidodo
Petani memetik daun tembakau saat berlangsungnya musim panen (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Komisi IX DPR Nihayatul Wafiroh merasa heran dengan adanya penyamaan tembakau dengan alkohol, narkotika, dan psikotropika dalam Pasal 154 Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Menurut dia, draf peraturan tersebut kemungkinan besar dapat ditinjau ulang karena melihat banyak pihak yang menolaknya.

”Saya tidak tahu bagaimana pembahasannya di Baleg (Badan Legislatif) dulu kok pasal itu bisa masuk draf RUU Kesehatan,” ujar Nihayatul di Jakarta, Selasa (6/6/2023).

Terkait peninjauan ulang draf pasal 154, dia menjelaskan, saat ini pembahasan RUU Kesehatan sedang berjalan, tapi tidak berurutan dari pasal satu, pasal kedua, dan seterusnya. Nihayatul menjelaskan, pembahasan RUU Kesehatan dilakukan sesuai klaster.

“Ada klaster-klasternya. Kami juga mulai bahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Tapi pasal soal tembakau belum dibahas,” ujar dia.

Penolakan atas pasal tersebut juga disampaikan anggota Komisi IV DPR, Firman Soebagyo. Menurut Firman, tembakau memiliki latar belakang dan sejarah yang panjang sebagai produk legal di Indonesia yang sarat akan nilai budaya hingga ekonomi.

"Saya tidak setuju kalau tembakau disetarakan dengan narkotika. Kita harus melihat latar belakang sejarahnya. Kapan tembakau itu masuk Indonesia dan kapan narkoba membudaya di Indonesia,” ujar dia.

Firman menjelaskan, tembakau sebagai sebuah varietas yang dibawa oleh perusahaan dagang Belanda dan bukan hanya dikonsumsi di dalam negeri, tetapi juga bernilai ekonomi yang tinggi. Termasuk sebagai produk ekspor, terutama untuk produk cerutu di sejumlah negara.

”Dari sisi industrinya, itu serapan tenaga kerjanya kurang lebih ada 5 juta. Kemudian juga cukai rokoknya mencapai ratusan triliun Rupiah. Namanya tembakau ini sangat positif bagi pertumbuhan ekonomi, bagi kesejahteraan masyarakat," kata Firman.

Karena itu, dia menilai, tembakau sebagai produk legal tidak bisa disamakan dengan narkotika dan psikotropika yang dilarang keras oleh hukum. "Kami tidak sepakat disamakan dengan narkotika," jelas dia.

Penolakan atas pasal penyamarataan tembakau dengan narkotika dan psikotropika bukan hanya datang dari parlemen sebagai perwakilan rakyat. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga sudah menyatakan keberatan dengan peraturan tersebut dan sudah bersurat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement