Ahad 28 May 2023 14:40 WIB

Wamenkumham ungkap Lima Misi dari KUHP Nasional

Banyak masyarakat sipil protes karena menganggap KUHP Nasional menentang demokrasi.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Fernan Rahadi
  Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, saat memberikan paparan dalam acara Kumham Goes To Campus di Universitas Airlangga, Surabaya.
Foto: Dadang Kurnia
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, saat memberikan paparan dalam acara Kumham Goes To Campus di Universitas Airlangga, Surabaya.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej memgungkapkan lima misi yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional. Misi pertama adalah demokratisasi. Edward mengakui, banyak masyarakat sipil yang protes karena menganggap KUHP Nasional menentang demokrasi, mengekang kebebasan berekspresi, dan mengekang kebebasan berpendapat.

"Itu tidak benar. Yang ada dalam KUHP Nasional bukan mengekang kebebasan tapi mengatur kebebasan. Ini dua hal yang berbeda," ujarnya dalam acara Kumham Goes to Campus yang digelar di Kampus B Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jumat (26/5/2023).

Baca Juga

Misi kedua adalah dekolonisasi. Hal ini diterjemahkan sebagai upaya-upaya untuk menghilangkan nuansa kolonial dalam KUHP Nasional. Meskipun, kata dia, lagi-lagi banyak protes dari masyarakat sipil yang menganggap KUHP Nasional adalah rekolonisasi, atau menghidupkan kembali pasal-pasal kolonial.

Edward menjelaskan, dekolonisasi terlihat jelas dalam buku kesatu KUHP Nasional. Antara lain, tidak lagi megedepankan pada kepastian hukum semata, tetapi juga pada keadilan dan kemanfaatan.

"Kita menuju pada Pasal 53 KUHP Nasional yang dengan tegas menyatakan, dalam mengadili perkara jika ada pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan," kata Edward.

Guru besar Ilmu Hukum Pidana UGM melanjutkan, misi selanjutnya adalah konsolidasi. Ia menjelaskan, pascaperang dunia kedua, pertumbuhan kejahatan tindak pidana secara universal dianggap tidak lagi mampu diselesaikan oleh KUHP. Lalu sebagian pasal-pasal ditarik keluar dan dibikin undang-undang sendiri.

"Seperti pasal kejahatan jabatan ditarik dan dibuat Undang-Undang Korupsi," ucapnya.

Misi keempat adalah harmonisasi. Harmonisasi yang dimaksud adalah dengan mencoba untuk menyambungkan berbagai ketentuan pidana di luar KUHP untuk disesuaikan dengan KUHP Nasional. Ia mengungkapkan, terdapat lebih dari 200 undang-undang di luar KUHP yang masih memuat berbagai ancaman pidana.

"Kelima, modernisasi. Modernisasi menjadi penting untuk menjawab salah satu fungsi dari hukum. Bahwa hukum terlebih hukum pidana harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, perkembangan teknologi," kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement