Senin 22 May 2023 12:50 WIB

Mengapa Pemilu Turki Jadi Sorotan Dunia?

Masa depan Turki bisa menjadi sangat berbeda tergantung pada kandidat yang menang

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
 Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyapa para pendukungnya saat rapat umum kampanye pemilihannya di distrik Beyoglu di Istanbul, Turki, Sabtu (13/5/2023). Turki akan mengadakan pemilihan umum pada 14 Mei 2023 dengan sistem dua putaran untuk memilih presidennya, sedangkan pemilihan parlemen akan dilakukan diselenggarakan secara bersamaan.
Foto: EPA-EFE/TOLGA BOZOGLU
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyapa para pendukungnya saat rapat umum kampanye pemilihannya di distrik Beyoglu di Istanbul, Turki, Sabtu (13/5/2023). Turki akan mengadakan pemilihan umum pada 14 Mei 2023 dengan sistem dua putaran untuk memilih presidennya, sedangkan pemilihan parlemen akan dilakukan diselenggarakan secara bersamaan.

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Pemilih Turki akan kembali ke tempat pemungutan suara pada 28 Mei mendatang untuk melangsungkan pemilu putaran kedua. Pemilu Turki menjadi sorotan dunia, karena masa depan negara itu bisa menjadi sangat berbeda tergantung pada kandidat yang menang.

Presiden Turki saat ini, Recep Tayyip Erdogan, telah berkuasa selama dua dekade.  Dia telah menjalin ikatan dengan Timur dan Barat, tetapi pemerintahannya yang semakin otoriter telah menyebabkan gesekan dengan beberapa sekutu.

Baca Juga

Sementara penentang Erdogan dari kubu oposisi, Kemal Kilicdaroglu, berjanji untuk memulihkan demokrasi Turki dan meningkatkan hak asasi manusia.  Namun, beberapa orang Turki mempertanyakan apakah dia memiliki kehadiran di panggung dunia dan komitmen terhadap keamanan yang telah menjadi ciri khas Erdogan.

Jajak pendapat sebelum pemilu putaran pertama pada 14 Mei menunjukkan bahwa pemungutan suara akan seimbang antara kedua kandidat. Tetapi ketika surat suara dihitung, Erdogan lebih unggul, sehingga menjadi tantangan bagi kubu oposisi.

"Turki adalah negara yang biasa saya gambarkan sebagai salah satu negara bagian kami," jelas mantan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Baroness Ashton, dilaporkan BBC News, Sabtu (20/5/2023).

“Apa yang terjadi di Turki dalam hal demokrasinya dan dalam hal tempatnya di kawasan berdampak besar pada Eropa, Asia, dan tentu saja pada semua masalah global yang sedang kita geluti. Jadi ini benar-benar penting," kata Ashton menambahkan.

Sejak invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022, Turki telah mengukuhkan posisinya sebagai perantara diplomatik yang berharga. Turki memfasilitasi beberapa pembicaraan awal antara negara-negara yang bertikai. Turki juga membuat terobosan nyata ketika menegosiasikan kesepakatan biji-bijian yang penting, sehingga ekspor biji-bijian Ukraina dapat mengalir melalui Laut Hitam yang sebelumnya diblokade.

Presiden Erdogan juga bangga dengan jalur komunikasi yang dia buka dengan semua orang. Mulai dari Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak dan Presiden AS Joe Biden hingga Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Cina Xi Jinping.

"Turki selalu memiliki ambisi untuk menjadi bagian dari Barat," kata profesor hubungan internasional di Universitas Ozyegin Istanbul, Evren Balta.

“Ini tidak berubah dalam dua dekade pemerintahan (Erdogan). Tapi aliansi internasional Turki telah terdiversifikasi. Turki mengejar apa yang kami sebut 'otonomi strategis', gagasan bahwa negara-negara dapat bersekutu atau sejalan dengan lebih dari satu negara atau payung keamanan," tambah Balta.

Berbagai hubungan dan kemampuan Turki untuk menjadi bagian dari Barat terbukti berhasil. Misalnya, pasukan Turki menjadi tentara terbesar kedua dalam aliansi militer NATO. Ketika Finlandia dan Swedia mengajukan aplikasi untuk menjadi bagian dari NATO, Turki menjadi salah satu negara yang menentangnya, selain Hongaria. Turki memperlambat keanggotaan Finlandia dan terus memblokir keanggotaan Swedia.  

Turki tidak akan mendukung keanggotaan Swedia hingga negara itu mengekstradisi puluhan anggota PKK, atau kelompok pemberontak Kurdi yang telah melancarkan perjuangan bersenjata melawan Turki sejak 1984. Perwakilan dari Pusat Kebijakan Ankara, Selin Nasi, menganggap pergantian presiden dapat membantu memperbaiki hubungan Turki dengan NATO.

"Dalam situasi saat ini, Turki adalah sekutu, tetapi kesetiaan dan komitmennya kepada NATO dipertanyakan. Ingat KTT G20 di Bali. Kita berada di ambang perang nuklir," ujar Nasi.

"Sebuah pertemuan darurat diadakan di sana (KTT G20 di Bali) dan Turki tidak diundang. Ini menunjukkan posisi Turki yang ambigu di dalam NATO. Untuk mengatasi kecurigaan dan penilaian ini, saya pikir kita perlu menyelesaikan masalah S400, lebih cepat lebih baik," tambah Nasi.

Kilicdaroglu telah berjanji untuk menyelesaikan masalah penggunaan sistem pertahanan rudal Rusia S400 oleh Turki. Amerika Serikat (AS) menilai penggunaan S400 oleh Turki tidak sesuai dengan program jet tempur F-35. Akses Turki ke F-35 dicabut pada 2019. Kubu oposisi telah berjanji untuk mengambil langkah-langkah untuk memulihkannya.

Turki secara resmi diakui sebagai calon anggota Uni Eropa pada 1999. Tetapi proses tersebut terhenti pada 2016. Brussel mengkritik catatan pemerintah Turki tentang hak asasi manusia dan kebebasan demokrasi. Kilicdaroglu dan oposisi mengatakan mereka akan membuat tawaran baru agar proses keanggotaan Turki di Uni Eropa dilanjutkan.

Penasihat utama Presiden Erdogan, Ilnur Cevik, punya pendapat yang berbeda dengan Kilicdaroglu. Cevik mengatakan pemimpin oposisi itu berhalusinasi.

"Uni Eropa selalu menempatkan batu sandungan dalam perjalanan kami untuk menjadi anggota penuh. (Kilicdaroglu) mengatakan setelah dia berkuasa bahwa dalam tiga bulan dia akan menciptakan lingkungan di mana Uni Eropa akan mengizinkan pergerakan bebas visa Turki, itu omong kosong," ujar Cevik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement