Rabu 10 May 2023 17:12 WIB

Pakar UGM: Krisis Perbankan di Amerika Serikat Patut Diwaspadai

Perbankan di dalam negeri menurutnya harus selektif sekali dalam memberikan pinjaman.

 HSBC dan Barclays di distrik keuangan London Canary Wharf, di London, Inggris, Kamis (16/3/2023). Kekhawatiran berkembang akan krisis perbankan global baru menyusul kerugian yang diderita oleh Credit Suisse dan runtuhnya bank AS SVB (Silicon Valley Bank). Sementara itu ECB (Bank Sentral Eropa) telah meningkatkan suku bunga zona euro sebesar 0,5 persen dan telah menyatakan akan menanggapi gejolak pasar lebih lanjut.
Foto: EPA-EFE/ANDY RAIN
HSBC dan Barclays di distrik keuangan London Canary Wharf, di London, Inggris, Kamis (16/3/2023). Kekhawatiran berkembang akan krisis perbankan global baru menyusul kerugian yang diderita oleh Credit Suisse dan runtuhnya bank AS SVB (Silicon Valley Bank). Sementara itu ECB (Bank Sentral Eropa) telah meningkatkan suku bunga zona euro sebesar 0,5 persen dan telah menyatakan akan menanggapi gejolak pasar lebih lanjut.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pengamat Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Eddy Junarsin, menilai krisis perbankan yang terjadi di Amerika Serikat dalam beberapa waktu belakangan ini perlu menjadi peringatan serius bagi pengelolaan perbankan di Indonesia. Pasalnya bangkrut bank Silicon Valley Bank (SVB), Signature Bank dan Silvergate Bank disebabkan bank-bank tersebut terlalu dominan mendanai pinjaman ke perusahaan rintisan atau startup. 

Oleh karena itu perbankan di dalam negeri menurutnya harus selektif sekali dalam memberikan pinjaman baik ke perusahaan kecil maupun besar agar tidak terjadi gagal bayar di kemudian hari. 

"Tampaknya bank yang bangkrut ini ingin mendapatkan return besar sehingga berani meminjamkan dana ke startup dalam jumlah besar. Karenanya bank harus berhati-hati, risiko kredit bisa terjadi dimanapun, baik perusahaan startup hingga perusahaan besar," kata Eddy Junarsin, dalam siaran pers, Senin (8/5/2023).

Meski begitu, krisis perbankan di Amerika Serikat ini  menurutnya untuk sementara ini tidak memberikan dampak langsung ke perbankan maupun kondisi ekonomi di Indonesia. "Dampak langsung tidak ada, tapi kita harus hati hati. Saya melihat belum ada dampak ke bank yang ada di Asia dan Indonesia tapi kita harus belajar dari peristiwa ini," katanya.

Menurutnya krisis di sebuah perbankan tidak hanya soal risiko gagal kredit namun juga bisa terkena dampak dari isu sentimen negatif di pasar keuangan dan dampak kenaikan suku bunga acuan yang juga bisa menyebabkan adanya risiko likuiditas.

"Dunia perbankan sebenarnya menghadapi banyak risiko dari risiko kredit yang mengalami gagal bayar dan isu yang buruk di pasar sehingga terjadi penarikan uang secara besar-besaran dan bank kekurangan likuiditas," jelasnya.

Soal dampak risiko kenaikan suku bunga, kenaikan suku bunga menurutnya mempengaruhi masuk dan keluarnya dana investasi di sebuah negara. Apalagi belakangan ini bank sentral Amerika kerap menaikkan suku bunga acuan bagi perbankan. "Kenaikan suku bunga tentu tidak menarik bagi dunia bisnis. Akan tetapi naik dan turunnya suku bunga dari The Fed jadi acuan bank sentral negara lain di seluruh dunia," jelasnya.

Belajar dari pengalaman dari pengelolaan bank yang mengalami kebangkrutan ini, Eddy Junarsin menekankan penting bagi perbankan untuk mempraktikkan manajemen risiko perbankan dengan benar, konsisten dan disiplin. Menurutnya pengelola perbankan harus menerapkan manajemen risiko perbankan dengan baik dan benar. "Apabila perbankan tidak melakukannya dengan disiplin, maka risiko kredit, risiko kenaikan suku bunga dan risiko likuiditas, serta risiko pasar bisa berdampak pada risiko kecukupan modal," paparnya.

Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Bank Indonesia (BI), OJK, Kementerian Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan menurutnya  harus mampu mengawal stabilitas keuangan dan perekonomian nasional untuk mengawal pengelola perbankan menjalankan manajemen risiko dengan baik agar tidak terjadi krisis perbankan di tanah air. Selain itu komite ini juga harus mengawal angka inflasi dan nilai suku bunga jangan sampai memberatkan perbankan dan pelaku usaha. 

Saat kondisi misalnya inflasi dan suku bunga tinggi ibarat kondisi badan lagi demam maka kita tidak bisa lari tapi hanya bisa bertahan. Bila kondisi ekonomi kita sehat atau indikator keduanya turun, maka ekonomi kita bisa berlari kencang kembali," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement