Rabu 03 May 2023 17:09 WIB

Ajukan Uji Formil UU Cipta Kerja ke MK, Partai Buruh Siapkan 5 Argumentasi

Omnibus law tidak bisa dan tak mungkin digunakan pada produk hukum bersifat darurat. 

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto
Koordinator Kuasa Hukum Pemohon Partai Buruh, Said Salahudin.
Foto: bawaslu.go.id
Koordinator Kuasa Hukum Pemohon Partai Buruh, Said Salahudin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Buruh menyerahkan Permohonan Uji Formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (UUCK) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (3/5/2023).

Secara administratif, permohonan uji formil UUCK ini sudah didaftarkan Partai Buruh secara online ke MK tepat pada Hari Buruh Internasional. Terhadap Permohonan itu MK sudah memberikan tanda terima nomor 44/PAN.ONLINE/2023. Pendaftaran permohonan pada tanggal 1 Mei 2023 karena bertepatan dengan perayaan Mayday untuk membangun persepsi di kalangan buruh bahwa Mayday adalah hari perlawanan terhadap UUCK. 

Baca Juga

"Untuk pendaftaran permohonan secara fisik pada hari ini kami lakukan karena aturannya memang menentukan demikian. Naskah permohonan, surat kuasa, dan daftar alat bukti tetap harus diserahkan secara fisik kepada Mahkamah Konstitusi," kata Koordinator Kuasa Hukum Pemohon Partai Buruh, Said Salahudin dalam keterangannya pada Rabu (3/5/2023).

Permohonan ini disebut mempunyai sejumlah perbedaaan dengan permohonan yang diajukan sebelumnya oleh pihak lain. Dalam permohonan Partai Buruh, argumentasi serta dalil permohonan diklaim lebih spesifik dan mendalam dari sisi filosofis, teoritis, doktriner dan konsep hukumnya. Dari sisi kepentingan dan representasi pemohon pun berbeda. 

"Dengan diajukan langsung oleh Partai Buruh, maka warga negara yang kami wakili kerugiannya atas pemberlakuan UUCK secara faktual lingkupnya lebih masif," kata Said. 

Setidaknya ada lima alasan yang dijadikan dalil Partai Buruh untuk menjadi pertimbangan MK membatalkan UUCK. Alasan pertama, UUCK termasuk pada saat masih berstatus Perppu disebut telah mengangkangi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang pada prinsipnya menyatakan UUCK inkonstitusional.

Alasan kedua, aturan tentang cipta kerja yang dimuat dalam Perppu tidak memenuhi kondisi-kondisi serta unsur-unsur kegentingan memaksa yang sudah ditetapkan standarnya oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009.

"Alasan ketiga, pembentukan Perpu Cipta Kerja dan UUCK tidak memenuhi syarat Partisipasi Masyarakat secara Bermakna," ucap Said. 

Alasan keempat, UUCK diyakini Partai Buruh ditetapkan di luar jadwal konstitusional atau ditetapkan melampaui batas waktu. Dalam UUD 1945, pembatasan itu pada pokoknya menentukan penetapan Perppu menjadi undang-undang hanya boleh dilakukan “dalam persidangan yang berikut”. 

Agar klausul persidangan berikut dalam UUD 1945 tidak menimbulkan multi tafsir, maka UU PPP menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah “masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan”.    

"Nah, Perpu Cipta Kerja diundangkan pada tanggal 30 Desember 2022. Ini artinya, jika DPR hendak memberikan persetujuan dan menetapkan Perpu itu menjadi undang-undang, maka mereka harus lakukan hal tersebut di forum Rapat Paripurna masa sidang pertama yang jatuh pada tanggal 10 – 16 Januari 2023. Faktanya, penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi UUCK justru baru dilakukan DPR pada Rapat Paripurna tanggal 21 Maret 2023," ujar Said. 

Alasan kelima yang diajukan Partai Buruh untuk menyatakan UUCK inkonstitusional adalah tidak terpenuhinya syarat pembentukan Perppu dengan menggunakan metode omnibus law. Dalam Pasal 42A UU PPP diatur metode omnibus law terbatas hanya bisa digunakan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang disusun dalam keadaan normal, semisal undang-undang. 

"Omnibus law tidak bisa dan tidak mungkin digunakan pada produk hukum yang bersifat darurat seperti Perppu," tegas Said. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement