Jumat 21 Apr 2023 13:34 WIB

Pakar Budaya Ungkap Awal Mula Tradisi Berkirim Parsel di Indonesia

Parsel dikemas menarik untuk dikirim ke keluarga, kolega bisnis, dan orang terdekat.

Pekerja merapihkan persediaan parsel Lebaran Idul Fitri di Jogja Parcel, Yogyakarta, Ahad (9/4/2023). Untuk menghadapi Lebaran Idul Fitri 1444H Jogja Parcel menyiapkan 1.400 buah parsel. Harga jual parsel mulai Rp 150 ribu hingga Rp 1,5 juta tergantung ukuran dan isi parsel. Pembeli parsel selain dari Yogyakarta juga dari luar Jawa serta Luar Negeri yang mengirimkan parsel untuk keluarga serta rekan bisnis.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pekerja merapihkan persediaan parsel Lebaran Idul Fitri di Jogja Parcel, Yogyakarta, Ahad (9/4/2023). Untuk menghadapi Lebaran Idul Fitri 1444H Jogja Parcel menyiapkan 1.400 buah parsel. Harga jual parsel mulai Rp 150 ribu hingga Rp 1,5 juta tergantung ukuran dan isi parsel. Pembeli parsel selain dari Yogyakarta juga dari luar Jawa serta Luar Negeri yang mengirimkan parsel untuk keluarga serta rekan bisnis.

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Setia momen Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran, masyarakat Indonesia tidak asing dengan tradisi berkirim parsel. Parsel Lebaran biasanya berisi berbagai macam makanan atau barang rumah tangga yang dikemas menarik untuk dikirim ke keluarga, kolega bisnis, dan orang terdekat lainnya.

Beberapa tahun belakangan ini, istilah hampers lebih sering digunakan dan memiliki padanan yang mirip, yaitu bingkisan yang berisi berbagai hadiah.

 

Pengamat budaya dari Universitas Indonesia Prof Agus Aris Munandar, mengungkapkan tradisi berkirim parsel sudah ada sejak lama, tidak lepas dari kebudayaan Indonesia di masa lampau.

 

“Tradisi memberi sesuatu bermula dari persembahan kepada Adikodrati (religi prasejarah),” kata Agus.

 

Dijelaskan kelompok masyarakat Indonesia pada masa prasejarah memiliki budaya yang sederhana, cara berpikir individu-individu di dalamnya tidak atau belum terlepas dari alam Adikodrati dan segala bentuk kekuatan Ilahi.

Kekuasaan tertinggi terletak pada Adikodrati, yang dianggap sebagai pengatur jalannya kehidupan. Oleh karena itu, masyarakat pada zaman itu selalu bersikap hormat untuk menjaga keselarasan kehidupan melalui sikap bijaksana dan religius.

Sikap religius itu diwujudkan dalam bentuk konsep pemberian dalam masyarakat, misalnya dana religi atau uang yang sengaja disisihkan untuk kegiatan keagamaan, sumbangan upacara keagamaan, sedekah, dan hadiah.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement