Selasa 18 Apr 2023 15:48 WIB

Dosen UIN Syarif Hidayatullah: Beda 1 Syawal itu Berkah

Dosen UIN Syarif Hidayatullah ini menjelaskan, Idul fitri momentum cinta kedamaian.

Ilustrasi sholat idul fitri.
Foto: AP Photo/Amr Nabil
Ilustrasi sholat idul fitri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) UIN Syarif Hidayatullah Rubiyanah Jalil menilai perbedaan waktu merayakan Lebaran 2023 harus dimaknai sebagai keindahan dan keberkahan.

Menurut dia, masyarakat harus memaknai perbedaan sebagai keberkahan seperti hadis Rasulullah saw. yaitu ikhtilaafu ummati rahmah yang berarti perbedaan di antara umatku adalah rahmat.

Baca Juga

"Perbedaan harus dimaknai sebagai keindahan yang harus dipupuk dan tidak dijadikan sebagai alat politisasi suatu kelompok," kata Rubi dalam keterangannya di Jakarta, Senin (17/4).

Menurut dia, apabila perbedaan-perbedaan justru dijadikan sebagai bahan untuk memunculkan perpecahan karena ingin memenangkan satu kelompok, akan menjadi musibah bagi bangsa Indonesia.

Rubi berharap momentum Ramadan dan Idulfitri 1444 Hijriah, umat Islam kembali pada fitrah manusia yang sesungguhnya, yakni mencintai kebenaran, kebaikan, keindahan, dan kedamaian.

"Dengan dilandasi semangat spiritual dan kebangsaan, momentum ini mampu memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang dapat meredam perpecahan bangsa," ujarnya.

Selain itu, Rubi menilai Ramadhan memiliki banyak kemuliaan, mulai dari bulan suci, penuh rahmat, hingga syahrul jihad (bulan jihad).

Ramadhan dikatakan sebagai bulan jihad, lanjut dia, karena secara historis pelaksanaannya pada masa Nabi Muhammad saw., bertepatan dengan peristiwa perang dan kemenangan yang diraih umat Islam.

Namun, menurut dia, semangat jihad sering disalahartikan oleh beberapa kelompok dengan konteks yang tidak sesuai, yaitu sebagai perang (qital). Mereka lantas berpendapat bahwa Ramadan adalah waktu yang tepat untuk membuat teror bagi kelompok radikal terorisme.

"Ketika umat Islam sedang menjalankan ibadah puasa atau menahan diri, pada dasarnya sedang berjihad. Oleh karena itu, Ramadan disebut juga dengan dengan syahrul jihad," kata Rubi.

Dosen Program Studi Magister Pengkajian Islam UIN Syarif Hidayatullah itu mengatakan bahwa ada satu peristiwa luar biasa yang dialami Nabi Muhammad saw. bersama sahabatnya saat Ramadhan, yaitu peristiwa Perang Badar.

Menurut dia, dalam kondisi berpuasa, Nabi Muhammad beserta 313 pasukannya melawan 1.000 kafir Qurais dalam Perang Badar. Namun, akhirnya umat Islam memenangi perang bersejarah tersebut.

"Namun, euforia kemenangan Perang Badar itu digambarkan oleh Rasulullah sebagai satu perang yang tidak seberapa," ujarnya.

Jihad yang paling besar itu bukan jihad secara fisik berperang dan lain-lain, melainkan melawan diri sendiri dari segala hawa nafsu yang bisa menghancurkan diri sendiri maupun orang lain, dan itu berpuasa," kata Rubi.

Dalam konteks keindonesiaan, menurut Rubi, makna jihad melawan hawa nafsu itu dapat dipupuk untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Menurut dia, Indonesia sebagai negara yang penuh keberagaman suku, agama, ras, dan budaya perlu menanamkan nilai-nilai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Ia memandang perlu kesadaran bersama untuk memupuk terus keberagaman untuk menghindari perpecahan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement