Rabu 12 Apr 2023 14:46 WIB

Ramadhan Bulan Jihad Kendalikan Nafsu Amarah dan Lawwamah

Dalam teori tasawuf ada yang disebut dengan nafsu sabu'iyah atau nafsu binatang liar.

Amal ibadah Ramadhan (Ilustrasi)
Foto: Dok Republika
Amal ibadah Ramadhan (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain sebagai bulan yang penuh ampunan, Ramadhan juga menjadi bulan yang sarat dengan perjuangan umat Islam dalam menggapai kesempurnaan. Melalui ibadah puasa, bulan Ramadhan seolah menjadi tonggak pergulatan diri dalam mengendalikan nafsu insani.

Perjuangan umat Islam di bulan Ramadhan adalah hal yang selalu ditemukan tiap tahunnya, namun nyatanya itu bukanlah hal yang mudah. Meski demikian, tantangan mengendalikan nafsu yang banyak ragamnya merupakan kewajiban yang harus ditunaikan.

Wakil Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia, KH Ali M Abdillah menjelaskan bahwa bulan Ramadhan dapat dianggap sebagai bulan jihad karena dalam setiap manusia, ada nafsu yang harus dikendalikan. Nafsu sendiri terbagi menjadi dua, ada yang disebut dengan amaroh dan yang disebut dengan lawwamah. Dua hawa nafsu ini selalu mengajak insan untuk berpaling dari Allah dan membuat kerusakan di muka bumi.

"Contoh hawa nafsu lawwamah itu nafsu yang digerakkan oleh iblis. Iblis masuk ke dalam diri manusia melalui aliran darah, sebagaimana hadits assyaithon yajri majroddam. Ketika aliran darah banyak bersumber dari makanan haram, maka hal itu paling cepat memproduksi setan atau iblis dalam diri manusia. Bisa dilihat, orang yang banyak memakan barang yang haram, pasti muncul perilaku yang destruktif atau merusak. Seolah-olah dia tidak memiliki sifat kemanusiaan, seperti raja tega. Ini sesungguhnya adalah sifat hayawanat atau sifat kebinatangan," jelas pria yang kerap disapa Kiai Ali ini di Jakarta, Rabu (12/4/2023).

Pengasuh Pondok Pesantren al Rabbani Islamic College Cikeas ini menjelaskan jika dalam teori tasawuf ada yang disebut dengan nafsu sabu'iyah atau nafsu binatang liar. Selayaknya binatang liar yang berkelahi, kalau lawannya tidak mati, pasti akan dihabisi sampai tinggal tulang belulang.

Inilah kekejian binatang liar. Ketika didominasi oleh nafsu amaroh dengan karakter sabuiyah yang dominan, pasti muncul sifat karakter rakus, kemudian raja tega, menghalalkan segala cara, dan juga dia akan semena-mena. Kemudian amarah juga punya karakter bahimiyah atau binatang ternak.

Menurut Kiai Ali, manusia dengan karakter bahimiyah memiliki orientasi hidup hanya untuk mencari makan, kemudian menuruti hawa nafsu biologisnya. Ini bisa dilihat binatang ternak yang polanya seperti itu. Karakter bahimiyah orientasi hidupnya hanya bekerja dari pagi sampai malam, kemudian melupakan ibadah, lalu setelah dapat uang untuk foya-foya dan mengikuti hawa nafsu.

“Puasa harus memiliki dampak yang positif untuk menurunkan tensi penguasaan nafsu pada  diri manusia. Cara yang paling efektif untuk menundukkan nafsu amarah baik yang sabuiyah maupun bahimiyah, yaitu dengan cara lapar. Lapar ini sebagai akar untuk bisa memutus mata rantai terjadinya dominasi nafsu amaroh," kata Kiai Ali.

Ia memberikan contoh jika manusia telah dikuasai oleh nafsu sabuiyah. Ketika orang yang bodoh didoktrin oleh doktrin agama yang mengambil satu atau dua ayat terkait dengan kepentingan tertentu. Misalnya ayat tentang jihad, dijamin masuk surga dan disediakan 72 bidadari. Jika ada orang yang dangkal pemahaman beragamanya lalu mempercayai doktrin sesat tersebut, berarti telah muncul nafsu sabuiyah-nya. Layaknya binatang buas, rasa kemanusiaannya hilang karena didominasi oleh virus kekerasan yang masuk ke dalam pikirannya, ingin masuk surga secara instan tapi dia mengabaikan sisi kemanusiaan.

"Dia tidak berpikir bahwa korban yang menjadi sasaran dia itu juga manusia. Apakah keluarga yang ditinggalkan akan begitu saja mengikhlaskan ketika pelakunya telah bebas? Tidak mungkin. Segala perbuatan akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah, apalagi membunuh orang lain, keluarganya pasti tidak rida. Bagaimana mau mendapatkan 72 bidadari ketika dia sudah melakukan kesalahan fatal dengan melanggar hak manusia lain," kata Kiai Ali.

Ketua PW Matan DKI Jakarta ini juga menjelaskan bahwa zikir dapat membersihkan diri dari nafsu yang negatif. Zikir dapat memasukkan nur ilahi kedalam hati. Kalau hatinya itu baik, maka seluruh aktivitasnya itu baik. Tapi kalau hatinya rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya.

Ketika hatinya sudah di cahayai dengan nur ilahiyah, lanjutnya, maka dampaknya akan muncul perilaku yang baik dan pribadi yang bermanfaat di tengah masyarakat. Ia akan menjadi orang yang selalu memberikan kebaikan kepada agama dan bangsa. Maka dari itu, puasa dan zikir ini merupakan teknik yang sudah teruji sistem ini dari abad ke abad untuk menggerus atau menetralisir virus-virus nafsu amarah dan lawwamah.

Kiai Ali pun berpesan bahwa jihad di bulan Ramadhan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa dilakukan dengan menjalankan ibadah puasa secara baik dan bersungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas iman. Dengan demikian, puasa yang dikerjakan bisa meraih derajat ketakwaan yang hakiki. Sebab target orang puasa itu harus ada peningkatan ketaatannya.

"Maka kaitannya dengan NKRI adalah harus memperbaiki kualitas lahir dan batin dalam berbangsa dan bernegara, khususnya bagi yang masih memiliki pemahaman kurang pas terkait konsep negara. Ramadhan bisa menjadi waktu renungan bahwa Indonesia ini baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur, negara baik yang mendapatkan ridha dari Allah,” tuturnya.

Buktinya, imbuh Kiai Ali, banyak pihak, termasuk ulama-ulama luar negeri, yang terpesona dengan Indonesia karena terdapat beragam agama dan suku tapi masyarakat Indonesia bisa saling toleran dan berdamai. Semakin mendalam pemahaman keagamaan seseorang pasti akan memiliki pengaruh semakin luas juga rasa toleransinya kepada sesama muslim dan sesama manusia.

"Itulah yang disebut membangun ukhuwah islamiyah untuk sesama muslim dan membangun ukhuwah wathaniyah untuk sesama anak bangsa. Mudah-mudahan di puasa tahun ini kita bisa menjadi lebih baik dan senantiasa dalam ridha dan lindungan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala," kata Kiai Ali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement