Larangan Buka Puasa Bersama Dinilai tak Relevan

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Muhammad Hafil

Jumat 24 Mar 2023 16:39 WIB

Larangan Buka Puasa Bersama Dinilai tak Relevan.  Foto ilustrasi: Warga mengambil piring makanan untuk berbuka puasa bersama di Masjid Jogokariyan, Yogyakarta, Kamis (23/3/2023). Foto: Republika/Wihdan Hidayat Larangan Buka Puasa Bersama Dinilai tak Relevan. Foto ilustrasi: Warga mengambil piring makanan untuk berbuka puasa bersama di Masjid Jogokariyan, Yogyakarta, Kamis (23/3/2023).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) mengkritisi kebijakan Presiden Joko Widodo soal pejabat negara tidak menggelar acara buka puasa bersama selama bulan suci Ramadhan 1444 Hijriah. Pusham UII memandang kebijakan itu tak relevan dengan situasi yang ada. 

Pusham UII menilai Pemerintah tak bisa berlindung di balik dalih transisi pandemi Covid-19 dalam pelarangan bukber. Sebab Pusham UII mengamati Pemerintah hanya cawe-cawe dalam urusan bukber. Adapun program Pemerintah dan kegiatan lain seperti konser yang melibatkan masyarakat banyak tak dilarang. 

Baca Juga

"Kalau soal Covid, ini tidak relevan dengan kebijakan pemerintah yang lain, karena PPKM sudah dicabut dan berbagai program untuk mendukung perekonomian dilakukan, tapi kok bukbernya dilarang," kata Direktur Riset dan Publikasi Pusham UII Despan Heryansyah kepada Republika, Jumat (24/3/2023). 

Despan mengingatkan dampak positif pelaksanaan bukber, terutama di daerah. Pertama, Pemda dan Kementerian/Lembaga bisa menyerap aspirasi masyarakat ketika menggelar bukber yang biasa diiringi shalat tarawih berjamaah. Kedua, masyarakat kurang mampu bisa terbantu adanya bukber oleh Pemda dan Kementerian/Lembaga. 

"Buka bersama adalah momentum bagi kepala daerah (khususnya) untuk bersafari berkunjung ke masyarakat tingkat bawah, mendengarkan masukan masyarakat, silaturahmi, dan yang utama berbagi kepada masyarakatnya yang kurang mampu," ujar Despan. 

Despan juga memandang mencegah pamer gaya hidup mewah tak bisa jadi alasan larangan bukber. Sebab hal tersebut tak korelasinya satu sama lain. Apalagi gaya hidup mewah ditampakkan lewat barang, bukan hidangan bukber. 

"Kalau ini niatnya untuk mengurangi pola hidup bermewah-mewahan, nampaknya salah alamat, karena selama ini kemewahan itu ditampakkan dengan barang-barang, pakaian, rumah, yang serba mewah, bukan hidangan buka puasa yang diberikan kepada orang lain," ucap Despan. 

Sebelumnya, arahan Presiden Jokowi tertuang dalam surat dengan kop surat Sekretaris Kabinet Republik Indonesia Nomor R 38/Seskab/DKK/03/2023 tertanggal 21 Maret 2023. Surat tersebut ditujukan kepada para menteri Kabinet Indonesia Maju, jaksa agung, panglima TNI, kapolri, dan kepala badan/lembaga.

Ada tiga arahan dalam surat arahan tersebut, yaitu, pertama, penanganan Covid-19 saat ini dalam transisi dari pandemi menuju endemi, sehingga masih diperlukan kehati-hatian. 

Kedua, sehubungan dengan hal tersebut, pelaksanaan buka puasa bersama pada bulan suci Ramadan 1444 H agar ditiadakan. Ketiga, Menteri Dalam Negeri agar menindaklanjuti arahan tersebut di atas kepada para gubernur, bupati, dan wali kota. Surat tersebut diteken Sekretaris Kabinet Pramono Anung serta ditembuskan kepada Presiden RI sebagai laporan dan Wakil Presiden RI. 

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas mengatakan arahan tersebut diperuntukkan di lingkungan pemerintah. Bagi aparatur sipil negara berkewajiban untuk melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat pemerintah yang berwenang, sesuai PP No 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sehingga larangan berbuka puasa bersama ini tidak berlaku bagi masyarakat umum