Kamis 23 Mar 2023 13:11 WIB

Dapatkah Pemberantasan Thrifting Menyelamatkan Industri Tekstil Lokal?

Thrifting bukan satu-satunya ancaman bagi industri tekstil lokal.

Presiden Joko Widodo geram karena maraknya impor pakaian bekas atau thrifting.
Foto: Republika
Presiden Joko Widodo geram karena maraknya impor pakaian bekas atau thrifting.

Oleh : Friska Yolandha, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Baru-baru ini, bisnis pakaian bekas impor atau bahasa kerennya 'thrifting' tengah ramai disorot. Pemerintah menilai bisnis thrifting sangat merugikan pelaku usaha lokal di industri tekstil.

Kementerian Koperasi dan UKM mengatakan, bisnis thrifting membawa banyak dampak negatif di dalam negeri. Selain merugikan pelaku UMKM yang membuat produk lokal, keberadaan produk tekstil bekas impor itu juga membawa dampak buruk bagi lingkungan hingga pendapatan negara.

"Keberadaan thrifting pakaian bekas impor menimbulkan masalah lingkungan yang serius karena banyak di antara baju bekas impor tersebut berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA)," kata Deputi Bidang Usaha Kecil dan Menengah Kemenkop UKM, Hanung Harimba, Senin (13/3/2023).

Pakaian bekas ini merupakan barang selundupan alias ilegal. Pakaian bekas ini tidak membayar bea dan cukai sehingga merugikan negara.

Pemerintah sebetulnya telah lama melarang impor baju bekas. Larangan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51 Tahun 2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.

Namun, bisnis baju bekas impor ini masih saja marak. Salah satu alasan masih maraknya baju thrift adalah karena seseorang bisa mendapatkan pakaian bermerek dalam keadaan bagus dan harga miring.Bagi sebagian orang, thrifting bukan sekadar membeli baju bekas. Banyak di antara baju-baju tersebut adalah pakaian yang memiliki memori dan histori. Misalnya, pakaian-pakaian vintage atau barang yang dibuat terbatas yang keberadaannya di dunia bisa dihitung jari.

Namun, maraknya penjualan baju thrifting kini lebih banyak didefinisikan sebagai 'barang murah'. Meskipun, sebetulnya untuk merek tertentu, harganya tidak murah-murah amat.

Tingginya peminat pakaian bekas ini membuat banyak importir nakal yang nekat membawa pakaian dari luar negeri. Pakaian bekas diselipkan di antara barang resmi yang diimpor ke Indonesia. Tidak bisa masuk jalur resmi, bal-balan ini masuk lewat jalur tikus, entah itu melalui pelabuhan atau jalur darat.

Bea Cukai sejauh ini telah menyita lebih dari 7.000 bal impor baju bekas sejak 2022 hingga saat ini. Itu yang ketahuan. Yang lolos dari pemeriksaan bisa lebih dari itu.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor pakaian bekas berkode HS 63090000 ini mencapai 26 ton pada 2022. Tetapi, BPS menegaskan barang-barang ini legal diimpor karena bukan termasuk barang bekas yang akan diperjualbelikan di Indonesia. Barang ini diklaim milik individu yang dikirim melalui jasa pengiriman.

Bisnis pakaian bekas impor ini memang dilema. Di satu sisi, penjualnya merusak pasar industri tekstil yang sebagian besar merupakan golongan UMKM. Di sisi lain, pelaku usaha baju bekas impor ini pun bisa dikatakan sebagai UMKM, terutama yang bersentuhan langsung dengan pembeli.

Pemerintah harus merunut di mana benang kusut industri thrifting ini. Pertama, pemerintah harus mencari tahu siapa importirnya. Kemudian, harus dicari tahu pula siapa yang mengizinkan importir nakal ini membawa pulang bal-balan tersebut. Selama importir masih bisa mengimpor pakaian bekas, selama itu pula industri thrifting akan berkembang di Indonesia.

Di sisi lain, thrifting bukan satu-satunya ancaman industri tekstil di Indonesia. Impor pakaian asal Cina juga sama menakutkannya. Perbedaan harga produksi antara produk lokal dan produk Cina membuat industri tekstil mati secara perlahan.

Setidaknya, ada sekitar satu miliar dolar AS impor pakaian bekas asal Cina yang tidak tercatat, kata Ketua Umum Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia Redma Gita Wirawasta. Ini juga perlu diwaspadai karena merugikan pelaku usaha lokal.

Pemerintah perlu melakukan sesuatu untuk industri tekstil. Jangan hanya melarang impor pakaian bekas yang nilainya tak seberapa. Pemerintah juga harus tegas dengan impor tekstil asal Cina yang harganya merusak pasar. Jika dibiarkan, mukena Tasikmalaya atau batik Pekalongan bisa-bisa hanya tinggal nama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement