Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Kholiyi

Kurikulum Merdeka dan Pendidikan yang Membebaskan

Pendidikan dan Literasi | Wednesday, 15 Feb 2023, 16:10 WIB
Sumber Gambar : Google.com

Baru-baru ini pemerintah tengah mensosialisasikan produk kebijakan baru dalam ranah pendidikan. Yakni terkait kebijakan perubahan kurikulum pendidikan. Kita tahu sebelumnya pemerintah secara rutin mengevaluasi dan mengganti kurikulum pendidikan secara berkala dari mulai dari tahun 1947 hingga terakhir tahun 2023 sekarang.

Setelah kemerdekaan, tercatat bahwa kurikulum di Indonesia sudah terjadi perubahan kurikulum sebanyak sebelas kali dengan yang terakhir kebijakan kurikulum merdeka yang tengah disosialisasikan dan diuji cobakan dari 2022 sampai 2023 dan rencananya akan dijadikan kurikulum nasional dan diimplementasikan di lembaga pendidikan secara menyeluruh pada tahun 2024.

Perubahan kurikulum pendidikan tersebut yakni sebagai berikut: Rentjana Pelajaran 1947, Rentjana Pelajaran Terurai 1952, Rentjana Pendidikan 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004 yang dikenal dengan sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum 2006 yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum 2013 (Kurtilas), dan yang terakhir, Kurikulum Merdeka.

Perubahan kurikulum secara berkala ini tak lain dikarenakan kurikulum memiliki arti penting dan strategis dalam penyelenggaraan pendidikan sebagai arahan dan pedoman dalam pelaksanaan Pendidikan. Proses perubahan kurikulum dari masa ke masa tersebut tentunya sebagai ikhtiar dalam mencari ramuan kebijakan pendidikan yang tepat dan sesuai dengan konstalasi zaman. Maka, bisa jadi implementasi Kurikulum Merdeka yang tengah atau akan diterapkan pada tahun ini merupakan ramuan mutakhir yang mencoba diterapkan oleh pemerintah dalam penyempurnaan dan pengembangan dunia pendidikan di Indonesia.

Walaupun demikian, pergantian ramuan kebijakan pendidikan tersebut nyatanya bagi masyarakat umum terkesan 'terlalu sering berubah-ubah'. Akan tetapi, yang harus dipahami juga bahwa kebijakan kurikulum pendidikan nasional tersebut tentunya perlu dievaluasi dan diperbaiki secara berkala, hal tersebut tidak lain agar sesuai dengan perubahan karakteristik peserta didik serta perkembangan isu kontemporer.

Namun sebenarnya, jika diperhatikan secara seksama sebetulnya kesan kurikulum yang 'terlalu sering berubah-ubah' bisa dikatakan tidak tepat. Malah, sejak ditetapkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, laju perubahan kurikulum melambat dari KBK di tahun 2004, KTSP di tahun 2006, dan yang terakhir adalah Kurikulum 2013 (K-13) di tahun 2013. Kurikulum Merdeka baru akan menjadi kurikulum nasional pada tahun 2024. Dengan kata lain, pergantian berikutnya baru akan terjadi setelah kurikulum yang sebelumnya (K-13) diterapkan selama 11 tahun dan melewati setidaknya empat menteri pendidikan.

Menurut penulis, kerangka kurikulum nasional harus menghadirkan ruang inovasi serta kemerdekaan, sehingga sekolah bahkan guru dapat melakukan inovasi secara leluasa yang bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Pemanfaatan teknologi dan informasi juga tentunya perlu dimaksimalkan dengan cara memberikan pelatihan secara berkala tentang pemanfaatannya, sehingga pada akhirnya para pendidik secara profesional dan mandiri. Bisa dikatakan bahwa kurikulum nasional seharusnya relatif memiliki dasar fundamental yang jelas dan kokoh, namun tetap memungkinkan tetap bisa beradaptasi dengan perubahan yang cepat di tingkat sekolah.

Secara teori, sebagaimana yang penulis kutip dari Buku Saku Tanya Jawab Kurikulum Merdeka dijelaskan bahwa Kurikulum Merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam di mana konten akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi. Kurikulum Merdeka juga memberikan keleluasaan kepada guru untuk memilih berbagai perangkat ajar sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan belajar dan minat peserta didik.

Lebih jauh, dijelaskan juga alasan mengapa Kurikulum Merdeka yang kemudian yang dipilih sebagai kurikulum yaitu dilandasi oleh berbagai studi nasional maupun internasional menunjukkan bahwa Indonesia telah mengalami krisis pembelajaran (learning crisis) yang cukup lama. Studi-studi tersebut juga memaparkan banyak dari anak-anak Indonesia yang tidak mampu memahami bacaan sederhana atau menerapkan konsep matematika dasar.

Kesenjangan pendidikan yang curam di antarwilayah dan kelompok sosial di Indonesia juga menjadi salah satu di antara temuan studi tentang kondisi pendidikan di Indonesia. Merebaknya pandemi Covid-19 yang menjangkit dunia khususnya Indonesia juga kemudian memperparah krisis pembelajaran yang sudah berjalan cukup lama di Indonesia.

Atas dasar tersebut dan untuk mengatasi krisis dan berbagai tantangan tersebut, maka kita memerlukan perubahan yang sistemis, salah satunya melalui kurikulum. Kurikulum menentukan materi yang diajarkan di kelas. Kurikulum juga mempengaruhi kecepatan dan metode mengajar yang digunakan guru untuk memenuhi kebutuhan peserta didik. Untuk itulah Kemendikbudristek mengembangkan Kurikulum Merdeka sebagai bagian penting dalam upaya memulihkan pembelajaran dari krisis yang sudah lama kita alami.

***

Pendidikan yang Membebaskan

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah ramuan 'kurikulum merdeka' ini mampu menjawab persoalan utama dalam dunia pendidikan di Indonesia ini. Persoalan itu juga makin kompleks secara sistemis. Penerapan Kurikulum Merdeka yang akan diterapkan sepenuhnya tahun 2024 nanti sama dengan merombak sistem pendidikan yang sudah bertengger sejak lama.

Pola-pola pendidikan dari tingkatan dasar hingga perguruan tinggi tentunya akan bergeser juga. Jika pada Kurikulum Merdeka yang diutamakan tentang pilihan atau minat peserta didik dan memosisikan guru sebagai mentor atau fasilitator, akan ada perubahan mendasar pada mata pelajaran 'default' yang sudah ada sejak dahulu. Bahkan bisa jadi jurusan perkuliahan di bidang pendidikan - yang notabene nya merupakan pabrik persediaan tenaga pendidik atau guru - juga akhirnya harus disesuaikan bahkan bisa jadi berubah agar mampu memenuhi dan menunjang Kurikulum Merdeka.

Akan tetapi yang lebih mendasar bagi penulis adalah apakah frasa kata 'Kurikulum Merdeka' yang dipakai pemerintah untuk menamai kurikulum yang baru ini kelak akan benar-benar menghantarkan pendidikan di Indonesia ke arah baru yang mampu melepaskan diri dari status 'learning crisis' yang sudah lama menjadi momok pendidikan kita? Apakah frasa 'Kurikulum Merdeka' ini benar-benar akan memerdekakan, atau dengan kata lain membebaskan pendidikan Indonesia dari dogma-dogma pendidikan yang telah usang?

Frasa 'Kurikulum Merdeka' ini bagi penulis juga bersifat revolusioner dan melebihi hal yang sifatnya reformasi. Karena kata 'merdeka' berarti secara maknawi 'terbebas' dari yang tadinya 'terpenjara'. Secara radikal berarti kita akan masuk ke suasana, masa, dan keadaan yang berbeda jauh dengan sebelumnya.

Memang betul jika kita amati, pola-pola pendidikan di Indonesia - walau tidak seluruhnya - secara mendasar sudah mulai tidak sesuai dengan konstalasi zaman. Terkadang bahkan menjadi belenggu dalam peningkatan mutu pendidikan nasional. Skema penilaian terhadap peserta didik yang lebih berat pada aspek kecakapan kognitif menurut penulis yang menjadi salah satu bahan evaluasi utama pendidikan di Indonesia.

Multi-pelajaran yang dibebankan kepada peserta didik - sembari dituntut harus memiliki nilai sesuai KKM (Kriteria Kelulusan Minimum) - pun pada akhirnya membiaskan minat dan potensi peserta didik yang seharunya sedari dini sudah terarahkah. Peserta didik tak bisa memilih pelajaran yang ia minati, malah dipaksa untuk bisa mempelajari mata pelajaran 'default' tersebut.

Bagi penulis, seharusnya dan sudah saatnya kita bergeser dari pola yang sebetulnya juga memberatkan guru dalam membimbing peserta didik. Karena dituntut juga oleh kurikulum, dan terkesan dipaksakan agar seolah-olah peserta didik mampu mempelajari dan memahami Mata Pelajaran yang diampunya. Terkadang berakhir pada manipulasi penilaian yang berdampak buruk pada kinerja guru dan juga peserta didik

Pendidikan harusnya membebaskan. Membebaskan guru untuk mengembangkan profesionalismenya dalam menjalankan peran dan fungsinya tanpa dituntut banyak hal yang mengikat dan memberatkan. Membebaskan peserta didik untuk berkembang dan memaksimalkan orientasi dan minat belajarnya secara mandiri sehingga ia akan tumbuh sebagai seorang pembelajar berdasarkan kemerdekaan belajar yang ia dapatkan.

Pendidikan yang membebaskan menurut penulis juga berarti upaya membukan cakrawala ber-literasi guru dan peserta didik yang tidak hanya terbatas pada teks-teks pelajaran saja, tetapi juga konteks yang harus dipahami secara utuh. Yakni tentang lingkungannya, tentang keberadaannya sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk ber-peradaban.

Dalam konsep pendidikan yang membebaskan, lembaga pendidikan idealnya tidak mengesankan diri seperti 'pabrik pendidikan' yang menghasilkan model-model tertentu yang telah ditentukan. Melainkan menjadi jalan atau fasilitas peserta didik yang ingin mengembangkan kemampuan dan kecakapan yang menjadi minatnya. Tanpa harus menanggung beban pelajaran-pelajaran yang sama sekali tak berdampak pada pengembangan dirinya. Pengembangan 'soft skill' juga merupakan alternatif andalan yang kelak akan menjadi bekal kemandirian peserta didik untuk 'survive' di dunia nyata.

Namun, pelajaran-pelajaran mendasar yang terkait dengan pemahaman wawasan kebangsaan, nasionalisme, pendidikan karakter, moral dan etika, menurut penulis harus tetap menjadi pelajaran pokok yang tidak boleh ditiadakan. Karena pelajaran-pelajaran tersebut adalah modal peserta didik untuk selalu bisa mencintai, menghargai, serta bangga terhadap negaranya. Selain itu pendidikan karakter, moral dan etika juga penting agar 'kesehatan mental' peserta didik selalu terjaga, agar kelak juga peserta didik memiliki kecakapan rohani serta psikologis yang baik.

Kurikulum Merdeka sejatinya mungkin se-irama dengan harapan terkait 'Pendidikan yang Memerdekakan' yang penulis ungkapkan. Dalam hal ini berarti Kurikulum Merdeka adalah transmisi sistem pendidikan yang mampu mewujudkan pendidikan yang membebaskan. Namun tetap berpegang pada prinsip fundamental bangsa Indonesia.

Akhirnya, semoga produk baru kebijakan pendidikan yang dibuat pemerintah yang bernama Kurikulum Merdeka ini menjadi sebaik-baiknya produk kebijakan untuk menghantarkan pendidikan Indonesia ke arah yang lebih maju, dan kelak mampu bersaing bahkan bertengger sebagai salah satu bangsa yang menjadi teladan dan kiblat pendidikan dunia.

Wallahu a'lam... []

Oleh : Ahmad Kholiyi, S.Hum. (Guru MTs Negeri 6 Pandeglang/Pengurus PC LP Ma'arif NU Lebak/Direktur LsIS Banten/Koordinator Gusdurian Lebak/Ketua Umum DAMAR)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image