Rabu 15 Feb 2023 13:23 WIB

Apa Itu Hidayah?

Allah memberi hidayah kepada hambanya yang sungguh-sungguh beriman kepada-Nya.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Erdy Nasrul
Ilustrasi shalat, ibadah yang menjadi jalan menggapai hidayah.
Foto: Republika/Prayogi.
Ilustrasi shalat, ibadah yang menjadi jalan menggapai hidayah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap orang akan menemukan hidayah dari jalannya masing-masing, baik mereka yang belum muslim maupun muslim sejak lahir namun belum secara kaffah menjalankan ajaran Islam. 

Berdasarkan buku Imam Al Ghazali yang berjudul Bidayatul Hidayah, Kitab Panduan Ibadah dan Muamalah dijelaskan bahwa hidayah pada hakikatnya adalah buah dari ilmu. Hidayah itu sendiri baginya ada "bidayah" (pemulaan) dan ada pula "nihayah" (kesudahan atau puncak), ada zahirnya dan ada batinnya.

"Dan engkau sekali-kali tidak akan pernah Ngaji Kitab Bidayatul Hidayah sampai kepada puncak hidayah kecuali setelah engkau menapaki permulaannya, dan engkau tidak akan dapat menyelami yang bersifat batin darinya kecuali setelah engkau memahami dan menyempurnakan yang bersifat zahir darinya,"tulis kitab tersebut.

Di dalam kitab ini ditunjukkan "bidayatul hidayah" (pemulaan-permulaan menuju hidayah); supaya mereka yang membaca dapat melatih diri dengan mengamalkannya, dan dapat menguji hatimu. 

 

Jika selama membaca hati seseorang cenderung kepada kitab itu dan hawa nafsu tunduk mengikuti arahannya dan dapat memberikan perhatian yang sewajarnya, maka pada saatnya maka dia akan sampai di puncak hidayah dan akan mampu mengarungi lautan ilmu yang luas itu.

Tetapi jika hati yang menuntut ilmu tidak memberikan perhatian kepadanya dan nafsu suka berlambat- lambat dalam melaksanakan perintahnya; maka ketahuilah bahwa kecenderungan dalam menuntut ilmu sebenarnya dikendalikan oleh nafsu ammarah bissuu, hanya tunduk kepada perintah setan yang terkutuk yang hendak menipumu dengan berbagai macam tipudayanya; sehingga engkau akan terjerumus ke dalam jurang kebinasaan. 

Dengannya setan bermaksud menawarkan kepadamu keburukan dalam kemasan kebaikan, sehingga engkau termasuk dalam golongan yang disebutkan dalam firman Allah, al kahfi 103-104,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا.الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Apakah perlu kami beri tahukan orang-orang yang paling rugi perbuatannya kepadamu?” (Yaitu) orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.

Menurut al-Ghazali, ada cara-cara yang bisa dilakukan seseorang agar hidayah (petunjuk) Allah itu senantiasa menyertainya. Di antaranya adalah senantiasa taat (patuh) dalam beribadah kepada Allah, menghindarkan diri dari perbuatan dosa, bergaul dengan orang-orang saleh, dan senantiasa berlaku sopan dan santun (adab).

"Jika hal itu sesuai dengan dirimu dan engkau rasakan hatimu condong kepadanya serta ingin mengamalkannya, ketahuilah bahwa engkau adalah seorang hamba yag disinari oleh Allah SWT dengan cahaya iman di hatimu dan yang karenanya Allah melapangkan dadamu," kata Al-Ghazali.

Setidaknya, ada tiga hal penting yang perlu diketahui umat dalam meraih hidayah (petunjuk) Allah tersebut dalam kehidupannya. Yakni, bagian adab-adab ketaatan, meninggalkan maksiat (dosa), dan cara bergaul dengan manusia beribadah, baik dalam pengertian yang bersifat sharih (sesuai dengan apa yang terdapat dalam Alquran dan sunah) maupun yang bersifat interpretatif.

Imam Al-Ghazali mewanti-wanti setiap Muslim, khususnya mereka yang membutuhkan pertolongan Allah, untuk tidak tertipu dengan bujuk dan rayuan setan. Sebab, setan akan menjerat manusia dengan tali tipu dayanya sehingga ia akan tergelincir dari jalan yang benar. Al-Ghazali senantiasa mengingatkan para penuntut ilmu (Muslim) agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang sesat. Ia menyebutkan, ada tiga jenis manusia dalam menuntut ilmu.

Pertama, orang yang mencari ilmu untuk dijadikan bekal menuju akhirat. Ia menuntut ilmu semata-mata hanya mengharap ridha Allah dan kepentingan di negeri akhirat. Inilah orang yang beruntung.

Kedua, orang yang mencari ilmu untuk dijadikan sarana bagi kepentingan kehidupan dunia yang bersifat sementara, yakni hanya meraih kejayaan, kedudukan, dan harta benda. Ia adalah orang yang berilmu dan merasa hebat dengan apa yang telah diraihnya. Padahal, kata Al-Ghazali, orang yang demikian ini adalah orang yang sesat. Dirinya akan senantiasa khawatir dengan akhir hidupnya jatuh miskin, melarat, dan lainnya.

Ketiga, orang yang dirinya telah dikuasai oleh setan. Ia menjadikan ilmunya sebagai sarana untuk memperbanyak harta benda, meraih kedudukan yang bisa dibangga-banggakan, dan menghimpun banyak pengikut yang bisa dimanfaatkan. Ia menggunakan ilmunya dalam setiap kesempatan untuk meraih kepentingan duniawi meski yakin ia mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah karena merasa dirinya seorang yang alim (ulama).

Menurut Al-Ghazali, hidayah Allah tak akan bisa diperoleh jika seseorang tak pernah memahami jati dirinya. Memahami siapa dirinya, Zat yang menciptakannya, dan semua yang terkandung di alam semesta ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement