Selasa 14 Feb 2023 06:15 WIB

Respons Vonis Sambo, Ketum PGI: Kami Hargai, Tapi Vonis Mati Hukuman Berlebihan

Hukuman mati dinilai hanya mengesankan sebagai bentuk balas dendam.

Rep: Muhyidin/ Red: Teguh Firmansyah
Ekspresi terdakwa Ferdy Sambo saat meninggalkan ruang sidang usai menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023). Majelis Hakim menjatuhkan vonis terhadap terdakwa Ferdy Sambo dengan hukuman mati.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ekspresi terdakwa Ferdy Sambo saat meninggalkan ruang sidang usai menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023). Majelis Hakim menjatuhkan vonis terhadap terdakwa Ferdy Sambo dengan hukuman mati.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Gomar Gultom menanggapi putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menvonis hukuman mati terhadap Ferdy Sambo pada Senin (13/2/2023). Dia menghargai proses peradilan yang berlangsung dan memahami perlunya hukuman yang berat atas Ferdy Sambo atas pembunuhan berencana dan tindakan perintangan proses hukum yang dilakukannya.

“Namun hukuman mati adalah sebuah keputusan yang berlebihan mengingat  Tuhanlah Pemberi, Pencipta dan Pemelihara Kehidupan. Dengan demikian, hak untuk hidup merupakan nilai yang harus dijunjung tinggi oleh umat manusia,” kata Gultom dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Senin (13/2/2023).

Baca Juga

“Dan karenanya, hanya Tuhan yang memiliki hak mutlak untuk mencabutnya,” imbuhnya.

Menurut dia, penegakan hukum oleh negara haruslah dalam rangka memelihara kehidupan yang lebih bermartabat. Dalam hal ini, kata dia, hukuman diharapkan dapat mengembalikan para pelanggar hukum kepada kehidupan yang bermartabat tersebut.

“Oleh karena itu, segala bentuk hukuman hendaknya memberi peluang kepada para terhukum untuk kembali ke jalan yang benar. Peluang untuk memperbaiki diri ini akan tertutup, bila hukuman mati diterapkan,” ucap Gultom.

Dia menjelaskan, Indonesia telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik. Karena itu, menurut dia, mestinya Indonesia tidak boleh lagi memberlakukan hukuman mati.

“Dalam perspektif HAM, hak untuk hidup adalah hak yang tak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Hal ini juga  ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 28 I ayat 1 bahwa hak untuk hidup, …. adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun,” kata Gultom.

Selain itu, menurut dia, hukuman mati itu juga mengesankan  lebih merupakan “pembalasan dendam” oleh negara, atau bahkan  frustasi negara dan masyarakat atas kegagalannya menciptakan tata masyarakat yang bermartabat, dan rasa frustasi itu dilampiaskan kepada terhukum.

“Saya meragukan pendapat sementara pihak yang menganggap hukuman mati akan memberi efek jera sebagaimana yang dimaksudkan oleh ancaman hukuman mati tersebut. Terbukti kasus narkoba terus meningkat meski negara tekah mengeksekusi mati beberapa pelaku tindak pidana narkoba,” jelas Gultom.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement