Jumat 10 Feb 2023 14:18 WIB

Warga Korsel Enggan Punya Anak Kendati Ada Insentif

Tingkat kesuburan Korea Selatan tahun lalu adalah 0,81 atau terendah di dunia.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Warga beraktivitas di Seoul Railway Station, Seoul, Korea Selatan, Kamis (17/3/2022). Populasi Korea Selatan menyusut untuk pertama kalinya pada 2021, dan diproyeksikan akan terus turun.
Foto: AP Photo/Ahn Young-joon
Warga beraktivitas di Seoul Railway Station, Seoul, Korea Selatan, Kamis (17/3/2022). Populasi Korea Selatan menyusut untuk pertama kalinya pada 2021, dan diproyeksikan akan terus turun.

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Populasi Korea Selatan menyusut untuk pertama kalinya pada 2021 dan diproyeksikan akan terus menurun dari 52 juta saat ini menjadi 38 juta pada 2070. Tingkat kesuburan Korea Selatan tahun lalu 0,81 atau terendah di dunia.

Pemerintah Korea Selatan telah melaksanakan program untuk mendorong masyarakat memiliki anak.  Mereka diberi bantuan uang tunai, perawatan kesuburan, dukungan untuk biaya pengobatan, dan pinjaman. Seorang profesor kesejahteraan sosial di Universitas Dankook, Jung Chang-lyul, mengatakan, insentif tunai sama sekali tidak akan mendorong angka kelahiran.

Baca Juga

“Sementara, masalah angka kelahiran yang rendah mungkin tampak penting di permukaan, masalah sebenarnya adalah tidak ada yang bertanggung jawab,” kata Jung, dilansir The Guardian belum lama ini.

Jung merujuk pada biaya tinggi untuk membesarkan anak dan harga real estat. Di Seoul dan wilayah lainnya, harga apartemen di telah meningkat dua kali lipat dalam beberapa tahun terakhir.

“Dalam masyarakat di mana anak-anak mulai menerima pendidikan swasta sejak usia dua atau tiga tahun, dan prestasi atau upah mereka ditentukan kekayaan orang tua mereka dan biaya pendidikan swasta mereka, mereka yang tidak mampu secara finansial berpikir bahwa melahirkan seorang anak seperti melakukan dosa," kata Jung.

Seorang pekerja kantoran yang baru menikah, Choi Jung-hee, berencana tidak memiliki anak. Choi mengatakan, kehidupanya bersama sang suami adalah yang utama.

"Hidupku dan suamiku yang utama. Kami menginginkan kehidupan menyenangkan bersama dan sementara orang mengatakan memiliki anak dapat memberi kami kebahagiaan, itu juga berarti harus banyak berkorban," ujar Choi.

Gaya hidup masyarakat sedang berubah. Untuk pertama kalinya, proporsi rumah tangga dengan satu orang telah melampaui 40 persen. Tahun lalu, jumlah pernikahan di Korea Selatan mencapai titik terendah sepanjang masa yaitu 193 ribu. Perempuan di Korea Selatan memprioritaskan kebebasan pribadi dan dengan sengaja mengesampingkan pernikahan.

Meskipun gaya hidup berubah, perempuan secara tradisional diharapkan dapat melepaskan pekerjaan mereka dan menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Korea Selatan saat ini memiliki kesenjangan upah gender terburuk di antara negara-negara Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). 

Pemerintah baru-baru ini membatalkan kebijakan yang berupaya memperluas definisi hukum keluarga untuk memasukkan mereka yang tidak terikat pernikahan. Kelompok lobi Kristen konservatif yang berpengaruh menyalahkan rendahnya angka kelahiran pada homoseksualitas.

Jung mengatakan, pada akhirnya, menangani kesejahteraan masyarakat adalah salah satu hal terpenting dalam mengatasi masalah angka kelahiran yang rendah. Di antara negara-negara OECD, Korea Selatan memiliki salah satu tingkat kepuasan hidup terendah dan tingkat bunuh diri tertinggi.

“Orang akan mulai memiliki anak hanya ketika kita menciptakan masyarakat di mana anak-anak tumbuh lebih bahagia dari kita," ujar Jung.

Jepang dan Korea Selatan dengan enggan membuka pintu untuk beberapa pekerja asing. Namun ada sedikit isyarat, kedua negara bersedia menerima imigrasi massal untuk membantu meredakan bom waktu demografis yang terus berdetak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement