Ahad 05 Feb 2023 22:40 WIB

Ini Alasan Muktamar Fikih Peradaban Puncak Harlah 1 Abad NU Bahas Piagam PBB

Muktamar Fikih Peradaban akan dihadiri ulama dari berbagai negara

Rep: Muhyiddin / Red: Nashih Nashrullah
Najib Azca dari Tim Pengelola Materi Muktamar Internasional Fikih Peradaban I menjelaskan urgensi forum akbar ini membincangkan pandangan syariat terhadap piagam PBB setidaknya pada dua arah di lingkungan internal umat Islam dan di lingkungan pergaulan internasional.
Foto: Nahdatul Ulama
Najib Azca dari Tim Pengelola Materi Muktamar Internasional Fikih Peradaban I menjelaskan urgensi forum akbar ini membincangkan pandangan syariat terhadap piagam PBB setidaknya pada dua arah di lingkungan internal umat Islam dan di lingkungan pergaulan internasional.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Muktamar Internasional Fikih Peradaban perdana yang diinisiasi Nahdlatul Ulama (NU) akan digelar di Hotel Shangri-La Surabaya, Jawa Timur, pada Senin (6/2/2023). 

Dalam forum internasional ini, para mufti dan ahli hukum Islam akan mengulas berbagai persoalan kontemporer dari susut pandang Islam, mulai dari format negara-bangsa, relasi dengan non-Muslim, hingga tata politik global. 

Baca Juga

Salah satu pembahasan pentingnya adalah tentang posisi Piagam PBB di mata syariat Islam. Lalu mengapa NU merasa perlu untuk membahas masalah ini? 

Tim Pengelola Materi Muktamar Internasional Fikih Peradaban I, Najib Azca, menjelaskan urgensi forum akbar ini membincangkan pandangan syariat terhadap piagam PBB setidaknya pada dua aras, yaitu di lingkungan internal umat Islam dan di lingkungan pergaulan internasional.  

Pada aras pertama, Muktamar Fikih Peradaban I merupakan ajakan dan dorongan kepada para ulama dan fuqaha untuk membangun konstruksi fiqhiyah yang solid dan diterima luas perihal legitimasi syariah bagi konstruksi negara-bangsa dan kesepakatan negara-bangsa dalam bentuk kelembagaan dan piagam PBB.  

"Hal ini penting dilakukan karena perbincangan perihal tersebut absen dalam kanon-kanon fikih yang ditulis para ulama yang memang sebagian besar disusun pada masa konstruksi politik berbasis khilafah," ujar Najib dalam keterangannya, Ahad (5/2/2023).  

Pada aras kedua, lanjut dia, ajakan dan dorongan untuk menengok dan memperkuat legitimasi terhadap Piagam PBB merupakan bagian dari ikhtiar untuk memperkuat multilateralisme dalam pergaulan internasional.  

"Belakangan ini terjadi penguatan terhadap pendekatan unilateralisme di mana krisis politik antar negara diselesaikan secara unilateral, seperti perang Irak, Afghanistan, juga Rusia-Ukraina yang masih terjadi hingga kini," ucap Wakil Sekjen PBNU ini. 

Najib menambahkan, langkah yang diambil PBNU ini bisa dilihat sebagai bagian dari ikhtiar besar memperkuat multilateralisme dalam resolusi konflik dan penyelesaian krisis dalam pergaulan internasional. 

Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengatakan, pembicaraan tentang tata dunia damai baru muncul setelah Perang Dunia II dengan lahirnya Piagam PBB. Sebelum itu, masyarakat dunia masih diliputi sektariaisme yang syarat konflik, termasuk di internal umat Islam sendiri. 

Baca juga: Ketika Sayyidina Hasan Ditolak Dimakamkan Dekat Sang Kakek Muhammad SAW

 

Menurut dia, apabila hendak mengembangkan wacana syariat tentang perdamaian dan toleransi maka harus bermuara dari Piagam PBB. Untuk itulah, hal pertama yang harus disepakati adalah soal kejelasan kedudukan Piagam PBB di mata syariat. 

“Ini perjanjian sah atau tidak (di mata syariat)? Karena ini perjanjian di antara pemimpin-pemimpin politik. Kalau ini sah di mata syariat, ini urusan pertimbangan fikih, dengan disiplin yang sangat kompleks. Tapi rumusan itu yang bisa dijadikan pijakan dan mengikat bukan hanya bagi anggota PBB, melainkan bagi warga negara masing-masing,” ucap Gus Yahya di Jakarta, Rabu (1/2/2023). 

Kalau dinyatakan sah oleh para ulama dunia di Muktamar Internasional Fikih Peradaban I, maka Piagam PBB itu akan menjadi pijakan untuk mengembangkan wacana yang lebih lugas dalam kerangka syariat Islam tentang perdamaian, toleransi, dan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) universal. 

“Karena kalau kita tengok referensi abad pertengahan, tidak ada juga HAM universal. Kafir dzimmi itu dilindungi tapi tetap warga negara kelas dua. Di Inggris, orang-orang Anglikan dari Irlandia menjadi warga negara kelas dua. Mereka tidak bisa jadi pegawai negeri, kalau tentara mentok hanya jadi sersan,” kata Gus Yahya.    

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement