Ahad 05 Feb 2023 17:41 WIB

Hardening Market Berpotensi Berlanjut, Industri Asuransi Dinilai Perlu Persiapkan Diri

Ketidakpastian ekonomi dan lanskap risiko yang berubah menciptakan tantangan pasar.

Industri asuransi. Ilustrasi
Foto: change.org
Industri asuransi. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketidakpastian ekonomi dan lanskap risiko yang berubah dinilai menghadirkan tantangan sekaligus peluang bagi industri asuransi dan reasuransi global, termasuk di Indonesia pada 2023. Pelaku industri asuransi dan reasuransi pun dinilai perlu berkolaborasi dalam mengelola data untuk mengantisipasi risiko dan melihat peluang baru di pasar.

Managing Director & Head of Property & Casualty South East Asia Munich Re, Surbhi Goel, menjelaskan industri asuransi dan reasuransi global masih merasakan dampak signifikan dari hardening market hingga akhir 2022. Kondisi itu ditandai dengan  kenaikan harga paling signifikan dalam beberapa dekade terakhir di industri dan perubahan struktur program dan pembatasan cakupan, serta penyusutan modal sejak 2008.

Kondisi itu, jelasnya, melatarbelakangi pembaruan kontrak atau renewal treaty di industri reasuransi pada awal 2023. Bila tak ada perubahan pada indikator ekonomi makro, Surbhi mengatakan kondisi hardening market bisa berlanjut pada tahun ini.

"Jika indikator makro tidak berubah secara signifikan, diperkirakan market hardening akan terus berlanjut," ujarnya di sela-sela kegiatan bertajuk “Indonesia Re 2023 Treaty Renewal: Post Mortem & What's Next” yang dihelat PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re, beberapa waktu lalu.

Sebagai informasi, hardening market atau hard market merupakan terminologi yang umum digunakan di industri asuransi dan reasuransi ketika sulit untuk mendapatkan cover atau back-up. Situasi ini terjadi ketika tiga indikator yakni harga atau premi meningkat, terms and condition diperketat dan kapasitas menciut atau berkurang.

Untuk menghadapi tantangan tersebut, Surbhi mengatakan pelaku industri reasuransi dan asuransi perlu melakukan penyesuaian. Penyesuaian itu harus dilakukan terkait dengan harga atau pricing sekaligus mencari celah pasar baru yang potensial bagi bisnis asuransi dan reasuransi.

"Penyesuaian harus dilakukan pada penetapan harga pasar primer, dan langkah-langkah diambil untuk meningkatkan portofolio," ungkapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Senior Client Manager, Team Lead for P&C Client Markets Indonesia and India Sub Swiss Re, Aisyah Fuad, mengakui ketidakpastian ekonomi dan lanskap risiko yang berubah menciptakan tantangan bagi pasar.

Menurutnya, tren kenaikan suku bunga dapat memberikan kelegaan bagi industri dalam memerangi inflasi dan untuk meningkatkan hasil investasi. Namun di sisi lain, hal itu dapat meningkatkan kerentanan keuangan.

"Inflasi biaya asuransi berdampak pada profitabilitas karena bahan dan biaya tenaga kerja terus menjadi tinggi dan serapan lebih tinggi dari pertanggungan gangguan bisnis (business interruption)," kata Aisyah.

Faktor lain yang dihadapi industri, jelas dia, adalah perubahan Iklim dan meningkatnya frekuensi dan intensitas bahaya sekunder (secondary perils) secara global. "Hal itu dapat menambah biaya ekonomi dan klaim bencana alam," jelasnya.

Dengan kondisi tersebut, Aisyah mengatakan Swiss Re melihat perlunya manajemen kapital dan risiko yang kuat untuk memitigasi tantangan yang akan dihadapi industri. 

Pengelolaan klaim dan pertimbangan yang cermat terhadap lini bisnis yang paling rentan terhadap inflasi dan risiko kredit dinilai menjadi keharusan. "Pertimbangan harus hati-hati terhadap lini bisnis yang paling terekspos terhadap inflasi dan risiko kredit," katanya.

Di samping itu, Aisyah menilai pelaku industri asuransi dan reasuransi perlu bekerja sama untuk mengakumulasikan data untuk memitigasi risiko di industri. "Kerja sama industri untuk pengumpulan dan pencatatan data dengan praktik terbaik, mempraktikkan informasi lokasi risiko yang tepat, dan meta data risiko lainnya yang menyoroti kerentanan risiko," ujarnya.

Di sisi lain, dia mengakui bahwa di tengah kondisi ini masih ada peluang untuk asuransi dan reasuransi. Potensi itu hadir dalam program transisi energi yang terus dipacu secara global. "Transisi Energi dan peningkatan konektivitas digital untuk menjangkau lebih banyak pelanggan," ungkap Aisyah.

Sementara itu, Direktur Teknik Operasi Indonesia Re Delil Khairat mengakui hardening market memang menjadi tantangan bagi industri asuransi dan reasuransi global, termasuk Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir.

Namun, Delil menegaskan hardening market merupakan mekanisme industri asuransi dan reasuransi untuk mengoreksi kondisi sehingga menghasilkan pasar yang lebih baik atau menuju kondisi soft market. Hard market dan soft market menjadi siklus dalam industri asuransi dan reasuransi. "Harapannya industri asuransi dan reasuransi segera kembali menuju kondisi soft market namun tetap dengan kinerja yang lebih baik dan prudent," ungkapnya.

Menghadapi hardening market yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia Re mendorong  perbaikan portofolio bisnis dengan menekankan pada sejumlah aspek, terutama treaty balance, pricing, dan combined ratio.

Dalam renewal treaty, Indonesia Re melakukan penyesuaian tarif atau pricing yang hampir terjadi pada seluruh mitra asuransi atau cedant. Di samping itu, Indonesia Re menghapus atau merestrukturisasi program-program treaty yang jarang digunakan atau tidak terpakai oleh cedant. "Penyesuaian pricing tidak dapat terelakkan yang dihadapi oleh banyak cedants," jelas Delil.

Setelah melakukan perubahan signifikan pada renewal treaty per January 2023, Delil menjelaskan Indonesia Re juga telah menyiapkan langkah-langkah berikutnya untuk mendorong perubahan di industri.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement