Sabtu 04 Feb 2023 20:20 WIB

Muktamar Internasional Fikih Peradaban akan Bahas Isu Modern

Muktamar Fikih Peradaban menjadi bagian dari Peringatan Satu Abad NU.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Muktamar Internasional Fikih Peradaban akan Bahas Isu Modern. Foto ilustrasi:   Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (kedua kanan) bersama pengasuh pondok pesantren Lirboyo KH Anwar Manshur (tengah) saat menghadiri Halaqah Fikih Peradaban di Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur, Sabtu (21/1/2023). Kuliah umum yang disampaikan menggunakan bahasa arab tersebut sebagai upaya menumbuhkembangkan semangat cinta tanah air kepada santri.
Foto: ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani
Muktamar Internasional Fikih Peradaban akan Bahas Isu Modern. Foto ilustrasi: Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (kedua kanan) bersama pengasuh pondok pesantren Lirboyo KH Anwar Manshur (tengah) saat menghadiri Halaqah Fikih Peradaban di Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur, Sabtu (21/1/2023). Kuliah umum yang disampaikan menggunakan bahasa arab tersebut sebagai upaya menumbuhkembangkan semangat cinta tanah air kepada santri.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan menggelar Muktamar Internasional Fikih Peradaban I (Fiqh al-Hadharah) di Hotel Shangri-La Surabaya, Jawa Timur, pada Senin (6/2/2023). Dalam forum internasional ini, para ahli hukum dan mufti dari berbagai negara akan membahas berbagai isu modern, mulai dari konsep Islam tentang negara modern, soal relasinya dengan non-muslim, hingga terkait tata politik global.

Muktamar yang menjadi bagian dari Peringatan Harhlah Satu Abad NU ini merupakan forum internal umat Islam di seluruh dunia yang merupakan lanjutan dari Forum Religion Twenty (R20) yang telah digelar di Bali pada November 2022 lalu. Agenda ini akan dihadiri sekitar 300 ulama dengan menghadirkan 15 ulama sebagai pembicara kunci, baik dari dalam negeri maupun mancanegara.

Baca Juga

Wakil Ketua Panitia Ahmad Ginanjar Sya'ban mengatakan, NU sudah memiliki khazanah tradisi dan keputusan yang bisa diadopsi masyarakat muslim di belahan dunia lain, terutama yang menyangkut fiqh siyasah (fikih politik) dan aspek muamalah lainnya.

"Perhelatan internasional ini menjadi bagian tak terpisahkan dari misi PBNU untuk mendorong umat Islam di seluruh dunia turut memikirkan problem internal umat Islam sendiri, lalu memberikan solusi konkret bagi masa depan peradaban dunia melalui norma-norma fikih," ujar dalam siaran pers PBNU di Jakarta, Sabtu (4/2/2023).

 

Gelaran Muktamar Fikih Peradaban I ini merupakan hasil inisiasi Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) yang memandang bahwa hingga saat ini, masih terdapat banyak masalah yang muncul dari agama. 

Gagasan awal serta alasan mengenai digelarnya Muktamar Internasional Fikih Peradaban I ini sebenarnya sudah ditulis Gus Yahya di dalam buku "Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama" (2020: 65). Ia menuliskan sebuah bagian yang berjudul ‘Mengakui Masalah, Menemukan Solusi’. 

Menurut Gus Yahya, jika ingin membangun peradaban yang mulia maka NU perlu memberikan solusi terhadap masalah-masalah yang ada. Artinya, pertama-tama harus mau tahu bahwa ada masalah dan mau mengakui kalau itu masalah. Ia kemudian menjelaskan beragam masalah yang terjadi di dalam internal Islam, sehingga perlu adanya fikih peradaban. 

1. Kedudukan Kafir

Gus Yahya menjelaskan, ada doktrin fikih yang menyatakan bahwa orang kafir harus dimusuhi dan halal darahnya. Menurut dia, aturan semacam itu akan menjadi masalah jika diterapkan pada hari ini sehingga perlu diakui sebagai masalah supaya bisa dipikirkan jalan keluarnya.

2. Anggapan Khilafah sebagai Cita-Cita Politik Islam

Masalah berikutnya menurut Gus Yahya adalah soal fikih yang mengatakan bahwa khilafah adalah cita-cita politik Islam yang paripurna, karena semua hal harus diarahkan kepada persatuan umat Islam di seluruh dunia dan dasarnya adalah wilayah. 

Gus Yahya menerangkan bahwa ada banyak aspek fikih yang dasarnya adalah wilayah. Misalnya kalau ada mayat tidak dikenal, apakah wajib dirawat sebagai muslim atau tidak, pertimbangannya adalah wilayah di mana mayat itu ditemukan. Jika ditemukan di wilayah Islam maka wajib dirawat sebagai Muslim, tetapi kalau ditemukan di wilayah kafir maka tidak wajib.

3. Hukum Syariah

Menurut fikih, kata Gus Yahya, hukum harus mengikuti syariah. Syariah diformulasikan oleh para mujtahid yang memiliki kualifikasi dan dengan metodologi yang sudah ditetapkan. Tetapi masalahnya, umat Islam Indonesia saat ini hidup di negara nasional yang hukumnya dirumuskan oleh orang-orang yang bukan mujtahid.

Gus Yahya pun menanyakan terkait kewajiban umat Islam untuk taat kepada hukum yang dibuat tidak persis dengan ketetapan syariah. Ini adalah masalah yang jika tidak ada jalan keluar berarti umat Islam di mana-mana wajib berontak kepada negara yang tidak menggunakan identitas Islam.

4. Keislaman Aktivis ISIS

Gus Yahya mengaku tidak setuju jika tentara Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) disebut sebagai kelompok di luar Islam. Menurut Gus Yahya, tentara ISIS adalah orang-orang Islam. Fikih yang mereka anut sama dengan Ahlussunnah wal Jamaah, yaitu fikih empat mazhab. 

Persoalannya, ISIS sangat bersikukuh membalas invasi Amerika dan memerlukan ideologi yang cukup kuat untuk melakukan itu. Lalu mereka menemukan sesuatu di dalam turats (fikih klasik) dan memaksakan penerapan di dalam praktiknya. Walhasil, semua pakai dalil. Mulai dari potong tangan, perbudakan, bahkan membunuh atau menghukum mati.

5. Mayat Teroris

Gus Yahya bercerita pernah diundang oleh Duta Besar Inggris di Jakarta untuk ikut di dalam gerakan menolak menshalati mayat para teroris. Tetapi Gus Yahya dengan tegas menolak. Bahkan ia berani menantang, apabila ada teroris di Inggris mati dan tidak ada satu pun orang yang mau menshalati, maka Gus Yahya akan datang untuk shalat mayit. Sebab teroris yang dimaksud itu adalah Muslim. Kalau tidak dishalati, seluruh umat Islam di dunia ikut berdosa.

6. Islam Moderat

Selanjutnya, Gus Yahya mengkritik konsep Islam moderat. Ia menyebut wasathiyah adalah konsep omong-kosong, karena seolah-olah ada Islam yang ghairu wasathiyah (tidak moderat). Dalam asumsi Gus Yahya, Islam moderat itu berarti berislam dengan hanya 50 persen. 

Konsep itu rentan disanggah oleh orang-orang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan konsep Islam kaffah, Islam yang bulat, Islam 100 persen. Mereka bilang, Islam moderat itu hanya 50 persen. Kalau begitu, Gus Yahya pun enggan memilih menjadi Islam yang hanya 50 persen itu.

Ketuntasan tersebut mesti dibuktikan dengan mengacu kepada perspektif Islam terhadap berbagai persoalan kehidupan, termasuk tata politik global.

7. Membela Muslim

Berikutnya, aturan fikih ketika terjadi konflik maka setiap Muslim wajib membela sesama umat Islam dan memerangi pihak yang memerangi kelompok Islam. Tetapi bagi Gus Yahya, apabila aturan itu tetap dilakukan saat ini maka akan dunia akan runtuh, tetapi kalau tidak dilakukan aturan fikihnya mengatakan begitu. 

Masalah-masalah di atas itu, ditegaskan Gus Yahya, harus diakui sebagai masalah. Bahkan ia mengajak seluruh pihak untuk membicarakan masalah-masalah itu kepada dunia, agar kelak mendapatkan solusi demi membangun peradaban yang mulia di masa depan.

“Kita harus akui sebagai masalah. Kita harus bicara kepada dunia tentang masalah-masalah ini supaya seluruh dunia ikut memikirkan jalan keluarnya,” ucap Gus Yahya dalam buku tersebut.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement