Kamis 26 Jan 2023 12:25 WIB

Ahmad Fuad Effendy dan Bahasa Arab di RI: Pertalian Cinta, Idealisme, dan Dedikasi

Ustaz Ahmad Fuad Effendy membangun Bahasa Arab dengan cinta.

Ahmad Fuad Effendy
Foto: Youtube
Ahmad Fuad Effendy

NUR HIZBULLAH; Pakar Bahasa Arab, Dosen Universitas Al-Azhar Indonesia

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tulisan ini merupakan ungkapan rasa syukur dan takzim atas sebuah kesempatan dan pengalaman berharga bisa mengenal dan berinteraksi langsung dengan salah satu tokoh bahasa Arab di Indonesia, almarhum Ustaz Fuad—demikian panggilan akrab para kolega maupun para yunior kepada beliau.

Di sisi lain, narasi ini mewakili suratan rasa kehilangan dan kesedihan amat mendalam dari sejumlah besar orang yang mengenal siapa beliau, terutama para kolega dan murid beliau. Jumat pagi 20/1 kemarin, Ustaz Fuad menghadap ke haribaan Allah. Kabar wafatnya beliau betul-betul mengejutkan semua kalangan, tapi itulah yang terbaik dari Allah untuk beliau, setelah perjuangan panjang dan ketabahan luar biasa dalam menjalani proses pengobatan medis terhadap sakit kanker kelenjar getah bening yang beliau alami sejak lebih kurang lima tahun terakhir. Bahkan di tengah kondisi yang seperti itu, terutama di masa pandemi Covid-19 tahun 2020 s.d 2022, beliau nyaris “tidak berhenti” berkegiatan dengan tetap aktif mengisi forum dan pengajian secara daring. Yang banyak orang tahu tentang beliau, kecintaan beliau terhadap Al-Quran, bahasa Arab, dan ilmu pengetahuanlah yang senantiasa mendorong beliau untuk terus “bergerak”, “menggerakkan”, dan memberikan manfaat kepada orang lain.

Salah satu gerakan penting dan idealisme strategis yang beliau lakukan, dalam kapasitas sebagai dosen bahasa Arab di Universitas Negeri (dulu IKIP) Malang (sekarang UM), adalah merintis pembentukan organisasi profesi-penghimpun pengajar bahasa Arab skala nasional di Indonesia, yang dikenal dengan nama Ittihad Mudarrisi al-Lughah al-‘Arabiyyah (IMLA). Organisasi itu mulai dirintis pada Desember 1998 dan ditetapkan pendiriannya pada 24 September 1999 di IKIP Malang (kini UM). Sejak itu, terjadilah pertemuan, komunikasi, dan kerja sama yang rutin dan intensif antarperguruan tinggi yang memiliki jurusan atau program studi Arab di Indonesia. Berdirinya IMLA harus diakui menjadi tonggak baru sejarah bahasa Arab di era Indonesia modern, terutama sejak awal milenium ketiga atau di awal tahun 2000-an. Organisasi yang Ustaz Fuad ikut rintis itu menjadi penghimpun dan pemersatu para guru, dosen, akademisi, dan pemerhati bahasa Arab di Indonesia. Kehadiran IMLA sekaligus menjadikan Ustaz Fuad sebagai simbol, tokoh, dan pemuka bahasa Arab yang sangat ikonik di Indonesia bahkan di dunia internasional.

Hal itu terjadi karena forum-forum seminar rutin yang diselenggarakan oleh IMLA tidak hanya dihadiri dan diikuti oleh peserta dalam negeri, tapi juga akademisi dan pakar bahasa Arab internasional dari kawasan Timur Tengah bahkan Barat yang berkesempatan mengenal Ustaz Fuad ketika menghadiri seminar-seminar IMLA di Indonesia. Karena reputasi, kharisma, dan peran penting beliau di mata akademisi Timur Tengah, tak mengherankan jika Ustaz Fuad sampai dua periode dipercaya dan diamanahi sebagai anggota Board of Trustees (Majlis Umanā) King Abdullah bin Abdulaziz International Center for the Arabic Language (KAICAL) mewakili Indonesia—satu-satunya negara Asia dalam keanggotaan Board of Trustees lembaga itu. Perjalanan panjang kiprah beliau di bidang bahasa Arab di Indonesia terlalu panjang dan kompleks untuk dikisahkan hanya dalam beberapa paragraf ini. Namun, setidaknya, ada beberapa detail kecil berikut ini yang dapat membuktikan bahwa pencapaian besar Ustaz Fuad benar-benar memiliki akar yang kuat dan itu menjadikan beliau layak untuk diposisikan sebagai “simbol dan ikon” bahasa Arab di Indonesia.

Ketika para dosen bahasa Arab di era awal 2000-an mulai aktif terlibat di kegiatan seminar-seminar IMLA, mereka mulai berkenalan dengan para kolega dari kampus lain dan mulai mengenali tokoh-tokoh bahasa Arab dari berbagai daerah. Memang ada beberapa tokoh dosen bahasa Arab yang sudah dikenal lintas daerah karena relasinya dengan rekan sejawat semasa studi mereka di luar negeri. Namun, masih banyak juga dosen-dosen yang belum saling mengenal satu sama lain. Pada saat itulah Ustaz Fuad dan para pendiri IMLA mengenalkan satu sama lain dan menyatukan mereka dalam ikatan profesi yang sama. Bagi para dosen “muda” di zaman itu, bisa berjumpa dan berkenalan dengan Ustaz Fuad dan para pendiri adalah suatu pengalaman dan kenangan yang istimewa. Namun demikian, tidak banyak yang bisa berinteraksi lebih lanjut dan lebih jauh dengan para tokoh karena kesibukan di kampus masing-masing.

Saya sendiri merasa sangat beruntung dan seperti mendapat karunia istimewa ketika Ustaz Fuad secara pribadi meminta saya terlibat dalam kepanitiaan nasional Bulan Bahasa Arab di Indonesia tahun 2014. Hal itu terkait kapasitas Ustaz Fuad sebagai anggota Board of Trustees KAICAL yang dipercaya dan diserahi amanah untuk menyelenggarakan acara rutin KAICAL yang berskala internasional tersebut. Sebetulnya, interaksi saya dengan Ustaz Fuad sebelum itu relatif jarang, hanya pada tahun 2010 ketika kami di Universitas Al-Azhar Indonesia menjadi tuan rumah seminar internasional IMLA dan pada tahun 2011 ketika kami menjadi tim pendukung pelaksanaan seminar IMLA di UIN Yogyakarta. Alhasil, saya cukup terkejut ketika Ustaz Fuad meminta saya terlibat sebagai panitia inti acara beskala internasional Bulan Bahasa Arab di Indonesia tahun 2014 itu. Tim inti panitia itu hanya 5 orang. Ya, tidak salah, benar-benar hanya lima orang. Saya pun terpikir banyak hal, terutama apakah saya pantas menjadi bagian inti dan mendapat amanah sebesar itu. Tapi ya sudahlah, saya hanya meyakini bahwa orang tua sekelas Ustaz Fuad pasti punya pertimbangan yang mendasari kepercayaannya kepada saya untuk terlibat dalam kepanitiaan acara sebesar itu. Lagipula, tak sepatutnya saya menolak dan menyia-nyiakan amanah yang luar biasa dari beliau.

Pekerjaan kepanitiaan acara itu benar-benar membukakan kepada saya lebih jauh lagi siapa Ustaz Fuad. Bersama beliau selama sekian bulan untuk rapat koordinasi, konsolidasi, manajemen kegiatan, sampai evaluasi, benar-benar sebuah karunia tak terhingga. Kapasitas kepemimpinan, kemampuan manajerial, keterbukaan pikiran, dan kharisma yang luar biasa berpadu apik dengan sikap rendah hati penuh hormat kepada siapa pun yang bekerja sama dengan beliau. Sekian bulan itu pula saya belajar banyak dan menyimpulkan pada akhirnya bahwa beliau memang tokoh kaliber internasional. Sebagai yang paling yunior di kepanitiaan, pastilah saya yang paling banyak salah dan khilaf. Tapi dengan sikap kebapakan dan bijaksana Ustaz Fuad, saya justru tidak merasa seperti anak kecil yang sedang diajari berjalan, tapi diperlakukan sebagai mitra kerja yang selalu diberi alternatif solusi ketika menemui jalan buntu dalam banyak hal. Lewat kepanitiaan acara itu pula, saya mendapat karunia lain yaitu perkenalan bahkan kedekatan dengan beberapa tokoh bahasa Arab asal Saudi Arabia. Itu tak pelak jadi “bonus” lain dari kebersamaan saya dengan Ustaz Fuad pada skala yang lebih luas lagi. 

Pada masa kepanitiaan acara itu, tidak hanya relasi formal yang terjalin di antara saya dan beliau. Satu yang paling saya ingat adalah ketika saya berada satu mobil berdua dengan beliau dalam perjalanan dari rumah beliau di perumahan Landung Sari Asri ke kampus UM. Dalam perjalanan dari rumah nan sederhana dengan mobil yang juga sederhana itu—bahkan “terlalu sederhana” untuk tokoh sekelas beliau, saya awalnya bertanya tentang awal kisah beliau mengajar di perguruan tinggi. Yang paling menarik buat saya, ungkapan beliau tentang “cinta kepada bahasa Arab” yang amat menggugah.

Beliau bilang, “Saya ke mana pun dan melakukan apa pun terkait bahasa Arab, yang penting dasarnya adalah rasa cinta: karena saya mencintai bahasa Arab.” Dari cerita beliau, saya pun memahami bahwa semua pencapaian besar memang harus diawali dengan dedikasi melalui “hal-hal “kecil”; beliau berkisah tak sungkan untuk menulis sendiri konten majalah yang beliau terbitkan, bahkan sampai mencari ongkos sendiri untuk membiayai semua hal terkait penerbitan hingga penjualan majalah itu. Sejak masih nyantri di Gontor, lalu merintis karier sebagai akademisi bahasa Arab di Yogyakarta sampai berkiprah di Malang, beliau sudah menerbitkan sekian nama majalah dan buletin yang terbit ratusan edisi. Apa yang Ustaz Fuad berhasil gapai di masa kini adalah buah dari akumulasi dedikasi yang sudah selama ini beliau rintis sendiri maupun bersama kolega-kolega beliau.

Momen lain yang amat berkesan adalah ketika saya bersama sekian kolega akademisi bahasa Arab di IMLA mengajukan suatu proyek pendokumentasian bahasa Arab secara digital (dalam bentuk korpus) di Indonesia kepada IMLA. Dari awal proyek itu masih wacana hingga terwujud, Ustaz Fuad memberikan andilnya secara maksimal, sebesar mungkin yang beliau bisa. Hal itu dimulai dari diskusi pengajuan proyek itu untuk dikelola oleh IMLA yang dituanrumahi oleh beliau sendiri di rumahnya nan asri di Malang, 8 April 2017. Malam itu saya merasa kagum bahwa pemikiran dan ide kami sebagai dosen muda yang ingin berkhidmat lebih luas melalui proyek pengembangan bahasa Arab yang berkelanjutan begitu mudah dipahami dan didukung oleh sang guru begawan itu untuk diterima dan dikelola secara resmi oleh IMLA. Singkat cerita, itulah dukungan moril terbesar yang kami terima sebagai pengusul proyek. Bagaimana tidak? Jika tokoh pendiri IMLA saja sudah memberikan dukungannya, maka kami sudah mendapatkan restu terpenting dan takkan mungkin mundur dalam pelaksanaannya di kemudian hari. 

Dukungan beliau berikutnya pun cukup “mengejutkan”. Pada pelaksanaan lokakarya pertama pengenalan proyek tersebut kepada jejaring akademisi bahasa Arab saat seminar internasional IMLA di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada 11 Agustus 2017, beliau yang kami undang namun belum konfirmasi hingga H-1 karena faktor kesehatan, tiba-tiba menyampaikan kepada saya bahwa beliau sudah dalam perjalanan dari Malang ke Yogyakarta untuk menghadiri lokakarya tersebut. Kami yang melaksanakan acara itu sampai punya rencana antisipasi kalau-kalau nanti Ustaz Fuad mengalami gangguan kesehatan.

Kami pun bahkan “mempersilakan” beliau untuk ikut hanya di sesi pembukaan saja agar beliau tidak lelah. Tapi beliau bahkan bilang ingin hadir sampai acara selesai, dan itu benar-benar terjadi. Alhamdulillah, luar biasa. Kami pelaksana acara itu yang sempat kecil hati karena ada beberapa hal penting yang tidak terjadi, menjadi berbesar hati dengan kehadiran beliau yang menandai besarnya dukungan moril dan perhatian tulus dari “orang tua kepada anak-anaknya”. Pada perjalanan proyek berikutnya, beliau malah lebih sering kami mintai konsultasi dan bimbingan terkait hal teknis maupun prinsipil daripada pihak lain, dan beliau amat berkenan sekali kami “ganggu” berkali-kali. Lagi-lagi saya diajari oleh keteladanan beliau yang tersirat adalah bahwa “pejuang” memang tak punya “jam kerja”.

Artinya, kaitan antara kita dengan bahasa Arab itu bukan dalam bingkai pekerjaan, tapi perjuangan. Jika kita berurusan dengan bahasa Arab dalam konteks pekerjaan, maka akan amat sedikit waktu dan perhatian yang bisa kita berikan. Namun, jika kita berjuang dan memperjuangkan bahasa Arab, maka kita akan memaksimalkan waktu yang kita punya untuk berdedikasi bagi bahasa Arab itu. Itu terbukti oleh kami ketika berinteraksi dengan beliau. Di mana pun, kapan pun, dan dalam keadaan bagaimana pun, kami alhamdulillah selalu bisa dalam “frekuensi yang sama” untuk berdiskusi dan memikirkan bahasa Arab tanpa batas waktu, jarak, dan ruang.

Hal lain yang perlu diketahui banyak orang adalah kapasitas akademik beliau yang istimewa. Saya menyebut istimewa karena beliau secara de jure memang hanya sampai bergelar M.A. dari UIN Jakarta, tapi secara de facto beliau sudahlah berada pada “maqam” Profesor. Datangnya sekian banyak mahasiswa Doktoral kepada beliau untuk berkonsultasi dan melakukan “bimbingan” (tak resmi) adalah bukti bahwa beliau memang sudah berada pada level “Guru Besar”. Pengalaman, jam terbang, wawasan, pengetahuan, dan kecendekiawanan beliau seringkali menjadi magnet bagi sekian banyak mahasiswa kandidat Doktor untuk datang dan “minta dibimbing” oleh beliau. Meski banyak sudah penghargaan formal dari dalam dan luar negeri akan kiprah beliau di bidang bahasa Arab di Indonesia, di sisi lain, adanya pengakuan, penghormatan, dan impian banyak akademisi bahasa Arab untuk bisa dekat dengan beliau adalah penghargaan tersirat yang tak kalah pentingnya. 

Kebersamaan terakhir saya dengan beliau adalah ketika kami satu mobil di Jakarta pada Oktober 2021 saat mengurus visa kunjungan kerja ke Universitas Ummul Qura di Mekkah tahun itu. Dalam kondisi kesehatan yang sudah sangat terbatas, beliau masih tetap bersemangat dan berusaha meyakinkan kami akan pentingnya kunjungan ke Arab Saudi saat itu. Kami pun berbincang banyak hal dan beliau sempat “berwasiat”. Selama kiprah beliau di komunitas pengajar dan akademisi bahasa Arab di Indonesia, beliau masih melihat ada banyak hal yang harus dibenahi. Secara tidak langsung, ada pesan tersirat yang harus saya pahami bahwa pengembangan bahasa Arab di Indonesia masih harus terus diperjuangkan dalam jangka panjang.

Di akhir hayatnya, dalam kondisi yang sudah lemah dan sulit bicara, beliau bahkan masih sempat berwasiat secara khusus dan menyebut beberapa nama untuk melanjutkan perjuangan beliau di Rumah Al-Quran “Al-Manhal”. Lembaga itu dikembangkan di rumah pribadi yang diperluas fungsinya menjadi rumah belajar masyarakat, sekaligus rumah yang menjadi saksi sejarah perjalanan cinta, idealisme, dan dedikasi beliau terhadap bahasa Arab di Indonesia.

Perjalanan hidup Ustaz Fuad selama 75 tahun tuntas sudah dengan berpulangnya beliau ke rahmatullah. Namun, cita-cita dan idealisme beliau tentang bahasa Arab di Indonesia harus terus dilanjutkan. Siapa pun yang meneladani beliau, sudah sepatutnya mengambil peran dalam meneruskan perjuangan beliau, tentunya dengan rasa cinta, kekuatan idealisme, dan keteguhan dedikasi yang sebisa mungkin meniru apa yang telah beliau contohkan kepada kita semua. Selamat jalan, Ustaz Fuad. Semoga rahmat dan ampunan Allah menaungi Ustaz di alam baka.

Suara hati Nur Hizbullah, salah satu “murid” beliau, dengan segala cinta dan takzim kepada Sang Guru, mewakili rekan sejawat akademisi bahasa Arab di Indonesia.

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement