Ahad 22 Jan 2023 16:09 WIB

Bolehkah Calon Jamaah Utang untuk Lunasi Biaya Haji 2023 yang Diusulkan Naik?

Calon jamaah haji dibolehkan utang untuk lunasi biaya haji 2023 dengan catatan.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
 Biaya Haji 2023 Naik, Bolehkah Calon Jamaah Utang untuk Lunasi Biaya Haji? Foto:  Pelunasan Biaya haji. (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Biaya Haji 2023 Naik, Bolehkah Calon Jamaah Utang untuk Lunasi Biaya Haji? Foto: Pelunasan Biaya haji. (ilustrasi)

IHRAM.CO.ID,JAKARTA -- Biaya haji 2023 di Indonesia diusulkan pemerintah naik hampir dua kali lipat. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan biaya perjalanan ibadah haji (bipih) 2023 naik 73 persen. Pada tahun 2022, biaya haji sebesar Rp 39, juta pada 2022. Tahun ini biaya haji diusulkan menjadi Rp 69 juta per jamaah.

Dalam konteks demikian, bagaimana dengan orang yang telah mendaftar haji dengan membayar Rp 25 juta dan mendapat kuota keberangkatan pada tahun ini? Artinya, untuk melunasi biaya haji tahun ini, calon jamaah harus melunasi sebesar Rp 44 juta.

Baca Juga

Jika calon jamaah tak memiliki uang untuk pelunasan tahun ini, apa solusi untuk mereka? Apakah yang bersangkutan boleh meminjam uang sebesar nilai yang dibutuhkan untuk bisa berangkat? Mengingat hanya beberapa bulan lagi waktu keberangkatannya. Bila memang boleh meminjam uang, apakah secara istithaah (mampu) dapat dikatakan sah?

Ketua Dewan Syuro Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Prof KH Ahmad Satori Ismail menjelaskan, calon jamaah haji yang membutuhkan dana tambahan untuk menutupi kekurangan biaya haji, bisa meminjam dana kepada saudaranya dengan beberapa catatan.

 

Pertama, selama tidak ada riba di dalamnya. Kedua, memiliki kemampuan membayar dengan mencicilnya menurut perhitungan yang didasarkan pada pendapatan rutin yang diperoleh setiap bulannya.

"Misalnya saya butuh Rp 30 juta lagi untuk bisa berangkat haji, kemudian pinjam ke saudara, tetapi saya mampu mencicilnya menurut perhitungan. Maka ini bisa," tutur dia kepada Republika.co.id, Ahad (22/1/2023).

Dalam konteks tersebut, Prof Satori menyampaikan, itu sah secara istithaah. "Istithaah itu tidak harus cash, selama bisa stabil membayarnya," ujarnya menambahkan.

Lalu apa yang menjadi ukuran seseorang itu mampu melunasi utang tersebut? Prof Satori menjelaskan, ukurannya adalah penghasilan rutin yang diterimanya setiap bulan. Misalnya, yang berutang ialah seorang PNS yang belum pensiun, kemudian dilihat pendapatan riilnya dan dibandingkan dengan besaran nilai utangnya.

Untuk itu, lanjut Prof Satori, perlu juga melibatkan seseorang yang ahli dalam memperhitungkan hal tersebut, agar cash flow orang yang berutang itu tetap sehat meski harus mencicil pembayaran utangnya.

"Kalau seandainya sudah pensiun, kira-kira masih bisa mencicil gak untuk membayar utangnya. Atau kalau gajinya Rp 10 juta, dan untuk kebutuhan keluarga itu habis Rp 9 juta per bulan misalnya, masih ada kelebihan Rp 1 juta, ini boleh meminjam kepada saudaranya. Tetapi tanpa bunga, dan kalau dengan bunga, itu gak boleh," jelasnya.

Dalam keadaan yang berbeda, yaitu tidak memiliki kemampuan membayar utang dengan mencicilnya, maka ini bisa dimaklumi, yang artinya boleh diundur tahun depan sambil menabung lagi.

Namun, jika keadaannya sangat tidak memungkinkan untuk menabung, sehingga membuat orang tersebut harus menunggu 15 hingga 20 tahun lagi, terlebih yang bersangkutan sudah berusia renta, di sinilah letak pentingnya ta'awwun (tolong menolong) sesama Muslim.

 

"Sebaiknya saudaranya yang memiliki kelebihan harta, mencoba untuk ta'awwun, kita yang mampu mencoba untuk menolong. Atau, kalau sama sekali tidak ada saudara yang bisa membantu, ini masalah lain, bisa minta diundurkan sampai mampu," paparnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement