Penggunaan Dana KPC-PEN Perlu Dievaluasi

Tanpa evaluasi dana KPC-PEN, pembiayaan dari pajak dan utang bisa sia-sia

Jumat , 20 Jan 2023, 16:32 WIB
Kementerian Keuangan mengumumkan laporan realisasi penggunaan dana Komite Penanganan Covid‑19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) 2022. (ilustrasi).
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Kementerian Keuangan mengumumkan laporan realisasi penggunaan dana Komite Penanganan Covid‑19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) 2022. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan mengumumkan laporan realisasi penggunaan dana Komite Penanganan Covid‑19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) 2022. Dana KPC PEN mencapai Rp 396,7 triliun atau 83,9 persen dari Rp 472,6 triliun yang telah dianggarkan.

Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati mengatakan, perlu ada evaluasi penggunaan anggaran, terutama terkait dampak dari penggunaanya kepada masyarakat. Sebab, tanpa evaluasi, pembiayaan dari pajak dan utang bisa mubazir. "Pajak yang kita bayar dan pembiayaan dari utang bisa mubazir jika tidak dievaluasi penggunaan anggarannya," kata Anis, Jumat (20/1/2023).

Baca Juga

Anis soroti realisasi klaster pemulihan ekonomi yang menyerap sampai Rp 183,4 triliun, melebihi pagu Rp 178,32 triliun. Ada tiga klaster penggunaan anggaran PC-PEN 2022, klaster kesehatan, perlindungan masyarakat dan pemulihan ekonomi.

Yang mana, meliputi dukungan untuk UMKM, termasuk subsidi KUR. Wakil Ketua Badan Akuntabilitas dan Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini memberi dua catatan terkait penggunaan di klaster pemulihan ekonomi. Pertama, terkait dampak ke masyarakat.

Ia melihat, ini sering luput dari evaluasi anggaran karena hanya melihat target realisasi, sedangkan kualitasnya jarang dikalkulasi. Catatan kedua, pemerataan dan penyebaran bantuan ke UMKM mengingat persoalan mendasar selalu terkait data.

"Saya amati, kita belum memiliki data UMKM yang valid dan ini tentu bisa memunculkan pertanyaan baru, yakni tentang realisasi anggaran yang dimaksud," ujar Anis.

Kemudian, Anis menuturkan, pemerintah sudah memiliki program-program yang salah satunya Program Keluarga Harapan (PKH). Persoalan yang saat ini mendesak untuk diselesaikan yaitu mengurangi intervensi pada harga-harga barang yang diaturnya.

Ini penting agar daya beli rakyat tidak terus tertekan. Anis menilai, transisi pandemi ke endemi yang harus dilakukan menjaga pasokan dan harga bahan pangan. Ia merasa, bantuan langsung non tunai perlu dikembalikan ke posisi semula.

Sehingga, jaminan terhadap pemenuhan beras atau bahan pokok bagi rumah tangga prasejahtera dapat menjadi lebih baik. Anis berpendapat, program-program itu sudah cukup, tinggal pemerintah berusaha maksimal meningkatkan efektivitasnya.

"Perlu kita pahami kekuatan pertumbuhan ekonomi kita konsumsi rumah tangga yang besar. Seraya berharap, meski tanpa dana PEN pemerintah juga mampu menjaga daya beli masyarakat dan mempercepat penciptaan lapangan kerja," kata Anis.

Anis menilai, penyerapan anggaran masih terus menjadi persoalan di Indonesia. Padahal, ekonomi nasional membutuhkan stimulus besar mendukung pemulihan ekonomi dari pandemi. Penyerapan anggaran PEN sendiri memang cukup rendah sejak 2020.

Terkait indikasi pemulihan ekonomi, terlihat masih jauh dari kondisi sebelum pandemi. Konsumsi belum sepenuhnya pulih, bahkan dapat dikatakan menurun karena kenaikan inflasi. Kemudian, dari lapangan usaha, indikasi pemulihan masih jauh.

"Justru yang terjadi masih terlihat penurunan. Bisa kita lihat bahwa industri manufaktur terus melambat. Perannya terhadap PDB terus menurun di tengah kebutuhan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar," ujar Anis.