Sabtu 21 Jan 2023 13:27 WIB

Alarm di Balik Rekor Surplus Dagang

Surplus dagang Indonesia yang sudah lebih dari 32 tahun terancam terhenti.

Ekspor nonmigas menunjukkan tren pelemahan. Ilustrasi foto pekerja beraktivitas di dekat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ekspor nonmigas menunjukkan tren pelemahan. Ilustrasi foto pekerja beraktivitas di dekat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Oleh : Satria Kartika Yuda, Redaktur Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, Ada hal yang perlu diwaspadai dari data kinerja perdagangan Desember 2022. Walau surplus dagang berlanjut, kinerja ekspor nonmigas menunjukkan tren pelemahan.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin (16/1) mengumumkan, nilai ekspor Desember tahun lalu mencapai 23,83 miliar dolar AS. Sedangkan sepanjang 2022, nilainya sebesar 291,98 miliar dolar AS.

Tingginya nilai ekspor membuat surplus neraca dagang tahun lalu mencapai 54,46 miliar dolar AS. Menurut Kementerian Perdagangan, jumlah surplus tersebut merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah.

Hanya saja, data BPS menunjukkan ekspor Desember 2022 mengalami perlambatan secara bulanan. Nilainya turun 1,10 persen terhadap November (month to month/mtm). Adapun ekspor nonmigas melemah 2,73 persen.

Penurunan itu melanjutkan tren pelemahan yang terjadi sejak September 2022. Pada September, ekspor nonmigas turun 10,31  persen, Oktober minus 0,14 persen, dan November melemah 1,94 persen. "Dalam empat bulan berturut-turut, ekspor kita menurun," kata Kepala BPS Margo Yuwono.

Persoalannya, penurunan terjadi dari sisi nilai maupun volume. Salah satu penyebab melemahnya nilai ekspor adalah turunnya harga sejumlah komoditas.

Harga minyak kelapa sawit, misalnya, turun 0,57 persen menjadi 940,4 dolar AS per metrik ton dibandingkan November 2022. Penurunannya lebih dalam jika dibandingkan dengan Desember 2021, yaitu mencapai 25,97 persen.

Bukan rahasia lagi bahwa Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas. Apabila tren penurunan harga komoditas berlanjut, bukan tidak mungkin surplus dagang yang telah terjadi selama 32 bulan terakhir bisa terhenti. Pendapatan negara yang pada tahun lalu diuntungkan 'windfall' komoditas, juga bisa terdampak.

Pemerintah sadar betul Indonesia tak bisa terus bergantung pada ekspor komoditas. Presiden Joko Widodo selalu menekankan agar Indonesia mengekspor produk bernilai tambah, bukan bahan mentah. Bahkan, pemerintah sudah melarang ekspor sejumlah bahan mentah untuk memperkuat hilirisasi di dalam negeri.

Kondisi lain yang patut diwaspadai adalah turunnya volume ekspor. Penurunan ini menjadi cerminan melemahnya permintaan global.

Seiring berkurangnya volume dan turunnya sejumlah harga komoditas, kinerja ekspor ke sejumlah mitra dagang utama mulai kendor. Ekspor ke China dan Amerika Serikat (AS) tumbuh negatif pada Desember (mtm). Namun secara kumulatif, nilai ekspor ke beberapa mitra dagang utama tumbuh impresif sepanjang tahun lalu.

Penurunan tersebut tak lepas dari melemahnya kinerja perekonomian mitra dagang. Cina yang selama ini menjadi tujuan utama ekspor Indonesia, ekonominya mengalami perlambatan. Ekonomi Negeri Tirai Bambu tumbuh 2,9 persen pada kuartal IV 2022, lebih rendah dibandingkan kuartal IV 2021 yang menyentuh 3,9 persen. Sepanjang tahun lalu, ekonomi China tumbuh 3 persen. Jauh dari target yang ditetapkan sebesar 5,5 persen.

Sampai saat ini, Cina merupakan pangsa ekspor terbesar Indonesia dengan persentase mencapai 23,03 persen. Nilai ekspor ke China mencapai 63,55 milar dolar AS sepanjang 2022. Perlambatan ekonomi China tentu akan berdampak terhadap kinerja ekspor Indonesia. Akan tetapi, roda perekonomian Cina diyakini bergerak lebih cepat pada tahun ini seiring telah diakhirinya kebijakan Zero Covid.

Presiden Jokowi dalam Sidang Kabinet Paripurna pada awal pekan telah meminta jajarannya mengantisipasi berbagai tantangan pada tahun ini, termasuk pelemahan ekonomi mitra dagang, seperti Cina, AS, dan kawasan Uni Eropa. "Ekspor kita dengan negara-negara itu sangat besar, sehingga kita harus hati-hati,” kata Jokowi.

Merujuk data BPS, diversifikasi pasar ekspor terus dilakukan oleh pemerintah. Pada 2022, nilai ekspor ke sejumlah negara yang bukan mitra dagang utama mengalami peningkatan signifikan. Beberapa negara tersebut adalah Bhutan dan Botswana. Ekspor ke Bhutan, misalnya, meningkat 67,39 juta dolar AS yang sebagian besar berupa ekspor mesin dan perlengkapan elektronik, serta kendaraan dan bagiannya.

Perluasan pasar ekspor ke negara non-tradisional memang menjadi syarat mutlak demi mempertahankan kinerja perdagangan. Hal yang tak kalah penting adalah menggenjot ekspor produk olahan bernilai tambah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement