Senin 16 Jan 2023 21:29 WIB

Perusahaan China, AS, Eropa Berperan dalam Produksi Senjata Myanmar

Ada 13 perusahaan dunia yang memasok kebutuhan senjata di Myanmar.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nidia Zuraya
Tank militer Myanmar dikemudikan saat pesawat tempur militer terbang di atas dalam upacara peringatan 75 tahun Hari Kemerdekaan Myanmar di Naypyitaw, Myanmar, Rabu, 4 Januari 2023.
Foto: AP Photo/Aung Shine Oo
Tank militer Myanmar dikemudikan saat pesawat tempur militer terbang di atas dalam upacara peringatan 75 tahun Hari Kemerdekaan Myanmar di Naypyitaw, Myanmar, Rabu, 4 Januari 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, NAY PYI TAW -- Special Advisory Council for Myanmar (SAC-M) mengatakan, perusahaan dari 13 negara telah menyuplai komponen penting untuk kebutuhan produksi senjata di Myanmar. Senjata tersebut digunakan dalam tindakan-tindakan militer yang melanggar hak asasi manusia (HAM)

Ke-13 perusahaan tersebut antara lain berasal dari Prancis, Jerman, Cina, India, Rusia, Singapura, dan Amerika Serikat (AS). Menurut SAC-M, selain bahan mentah, dukungan dari perusahaan-perusahaan terkait untuk proses produksi senjata di Myanmar mencakup lisensi, perangkat lunak, suku cadang dan komponen lainnya. 

Baca Juga

“Perusahaan-perusahaan asing memungkinkan militer Myanmar, salah satu pelanggar HAM terburuk di dunia,  memproduksi banyak senjata yang digunakannya untuk melakukan kekejaman sehari-hari terhadap rakyat Myanmar,” kata Yanghee Lee, mantan pelapor khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar yang kini bergabung dengan SAC-M, Senin (16/1/2023), dikutip laman Aljazirah. 

Dia menekankan, perusahaan asing dan negara asal mereka memiliki tanggung jawab moral serta hukum untuk memastikan produk mereka tidak memfasilitasi pelanggaran HAM terhadap warga sipil di Myanmar. “Gagal melakukannya membuat mereka terlibat dalam kejahatan biadab militer Myanmar," ujarnya. 

Laporan SAC-M diambil dari berbagai sumber, termasuk wawancara dengan orang-orang yang terkait dengan militer Myanmar serta dokumen anggaran yang bocor dari Kementerian Pertahanan. Dari rangkuman keterangan dan data tersebut, SAC-M menemukan bahwa mesin presisi tinggi yang diproduksi oleh perusahaan berbasis di Austria, Jerman, Jepang, Taiwan, dan AS digunakan militer Myanmar di pabrik senjatanya.

Perangkat lunak untuk mengoperasikan mesin di pabrik tersebut disediakan oleh perusahaan yang berbasis di Prancis, Israel, dan Jerman. Sementara itu Singapura, menurut laporan SAC-M, berfungsi sebagai titik transit strategis untuk volume barang yang berpotensi signifikan, termasuk bahan baku tertentu dalam proses pembuatan senjata oleh Myanmar. Kemudian Taiwan diyakini berperan sebagai rute penting untuk pembelian mesin presisi tinggi oleh militer Myanmar.

Perusahaan di Cina, seperti China North Industries Group Corporation Limited milik pemerintah, adalah kunci impor bahan mentah yang digunakan untuk produksi senjata di Myanmar. Sementara perusahaan di India membantu impor suku cadang dan komponen seperti pembidik optik yang dipasang pada senjata kecil seperti senapan sniper.

“Negara harus menyelidiki dan, jika perlu, memulai proses administratif atau hukum terhadap perusahaan yang produknya telah kami identifikasi memungkinkan Direktorat Industri Pertahanan memproduksi senjata yang digunakan oleh militer Myanmar dalam serangan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil,” ujar Chris Sidoti, mantan anggota misi pencarian fakta internasional Independen PBB di Myanmar yang kini juga bergabung dengan SAC-M. 

“Perusahaan asing yang mengambil untung dari penderitaan rakyat Myanmar harus dimintai pertanggungjawaban,” kata Sidoti menambahkan. 

Laporan SAC-M juga merinci contoh penggunaan senjata buatan lokal oleh militer terhadap rakyat Myanmar. Misalnya ketika pasukan keamanan Myanmar menindak keras massa pengunjuk rasa yang memprotes kudeta militer pada Februari 2021. 

“Militer Myanmar telah membangun industri pembuatan senjata yang kuat yang membuatnya mandiri dalam kemampuannya memproduksi senjata kecil, senjata ringan, dan amunisi yang digunakannya untuk menindas rakyat Myanmar secara brutal,” kata Marzuki Darusman, mantan ketua misi pencarian fakta internasional independen PBB di Myanmar yang kini juga bergabung dengan SAC-M.

Kendati demikian, Marzuki mengatakan, ketergantungan Myanmar pada pasokan eksternal membuat negara tersebut masih berpeluang ditekan pihak luar. "Negara-negara anggota PBB harus melakukan segala daya mereka untuk membatasi akses militer Myanmar ke pasokan tersebut untuk melindungi rakyat Myanmar, termasuk dengan mengadopsi sanksi yang ditargetkan terhadap KaPaSa (pabrik pembuatan senjata Myanmar), kepemimpinannya, dan jaringan perantaranya," ucap Marzuki.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement