Senin 16 Jan 2023 16:12 WIB

IDI Desak Omnibus Law Kesehatan Dikeluarkan dari Prolegnas

IDI menyebut organisasi profesi kesehatan menolak Omnibus Law Kesehatan.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus raharjo
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidang Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Perwakilan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan menolak revisi UU Kesehatan yang menggunakan metode omnibus law, di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (16/1).
Foto: Dok. Republika
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidang Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Perwakilan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan menolak revisi UU Kesehatan yang menggunakan metode omnibus law, di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (16/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Slamet Budiarto menyampaikan sejumlah alasan mengapa pihaknya menolak revisi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggunakan metode omnibus law. Pertama adalah ketidakkonsistenan penggunaan metode omnibus.

Revisi UU Kesehatan sendiri akan menggunakan mekanisme omnibus law atau menggabungkan undang-undang lainnya. Undang-undang yang akan digabungkan dalam revisi tersebut adalah Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan, dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Baca Juga

"Jadi ada sebagian undang-undang yang dicabut, khususnya undang-undang profesi, praktik kedokteran perawat, bidan, dan lain-lainnya," ujar Slamet di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (16/1/2023).

Alasan kedua adalah adanya indikasi dipecah-belahnya organisasi profesi yang berkaitan dengan kesehatan. Hal ini semakin diperparah dengan kurangnya pelibatan organisasi profesi dalam penyusunan revisi UU Kesehatan.

"Di omnibus law itu disebut ada wadah baru yang bernama kolegium, kami tidak tahu itu di bawah siapa, untuk apa, untuk apanya dijelaskan, tapi di bawah siapa, pengawasannya tidak ada, yang selama ini di bawah organisasi profesi," ujar Slamet.

Ketiga adalah adanya aturan terkait izin praktik. Ia menjelaskan bahwa lewat revisi UU Kesehatan, pencapaian kompetensi ditentukan oleh Menteri Kesehatan dan pemerintah daerah, padahal seharusnya itu adalah ranah organisasi profesi.

"Intinya bahwa undang-undang ini tujuannya tadi katakan filosofinya baik, tapi tidak harus mencabut undang-undang profesi. Ada masalah pasal, salah sedikit itu perlu diperbaiki, tapi tidak mencabut," ujar Slamet.

"Karena undang-undang ini mencabut, maka kami sepakat organisasi profesi untuk menolak omnibus law," sambungnya.

Menurutnya, karena masih banyaknya poin yang perlu diperbaiki dalam revisi UU Kesehatan, IDI mendorong DPR untuk menunda pembahasannya. Termasuk untuk mengeluarkannya terlebih dahulu dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

"Mendesak RUU tersebut dikeluarkan dari prolegnas DPR RI. Namun apabila hal ini tetap dilanjutkan untuk disahkan, kami mempertanyakan komitmen integritas DPR RI sebagai perwakilan rakyat, juga pemerintah dalam menjalankan amanah konstitusi negara," ujar Slamet.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement