Senin 16 Jan 2023 05:55 WIB

Studi Jelaskan Bagaimana Suasana Hati Pengaruhi Cara Memproses Bahasa

Suasana hati dapat memengaruhi seseorang lebih dari yang disadari sebelumnya.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Gita Amanda
 Suasana hati dapat memengaruhi seseorang lebih dari yang disadari sebelumnya. (ilustrasi).
Foto: Pixabay
Suasana hati dapat memengaruhi seseorang lebih dari yang disadari sebelumnya. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika berada dalam suasana hati yang negatif, seseorang mungkin lebih cepat menemukan ketidakkonsistenan dalam hal-hal yang mereka baca. Hal ini merujuk pada sebuah penelitian baru yang dipimpin oleh University of Arizon.

Studi yang dipublikasikan di Frontiers in Communication ini didasarkan pada penelitian yang sudah ada tentang bagaimana otak memproses bahasa. Vicky Lai, asisten profesor psikologi dan ilmu kognitif University of Arizona, bekerja dengan kolaborator di Belanda untuk mengeksplorasi bagaimana otak seseorang bereaksi terhadap bahasa ketika mereka berada dalam suasana hati yang bahagia versus suasana hati yang negatif.

“Suasana hati dan bahasa tampaknya didukung oleh jaringan otak yang berbeda. Tapi kita punya satu otak, dan keduanya diproses di otak yang sama, jadi ada banyak interaksi yang terjadi. (Penelitian) Kami menunjukkan bahwa ketika orang berada dalam suasana hati yang negatif, mereka lebih berhati-hati dan analitis. Mereka meneliti apa yang sebenarnya dinyatakan dalam sebuah teks, dan mereka tidak hanya kembali pada pengetahuan dunia default mereka,” kata Lai seperti dilansir dari Neuroscience, Ahad (15/1/2023).

Lai dan rekan penulis penelitiannya, Jos van Berkum dari Netherlands’ Utrecht University dan Peter Hagoort dari Max Planck Institute for Psycholinguistics di Belanda, mulai memanipulasi suasana hati peserta penelitian dengan menunjukkan kepada mereka klip dari film sedih dan acara komedi.

Survei terkomputerisasi digunakan untuk mengevaluasi suasana hati peserta sebelum dan sesudah menonton klip. Sementara klip lucu tidak memengaruhi suasana hati peserta, klip sedih berhasil membuat peserta dalam suasana hati yang lebih negatif, demikian temuan para peneliti.

Para peserta kemudian mendengarkan serangkaian rekaman audio yang netral secara emosional dari cerita empat kalimat yang masing-masing berisi kalimat kritis yang mendukung atau melanggar default, atau pengetahuan kata yang sudah dikenal. Kalimat itu ditampilkan satu kata pada satu waktu di layar komputer, sementara gelombang otak peserta dipantau oleh EEG, sebuah tes yang mengukur gelombang otak.

Misalnya, para peneliti menyajikan kepada peserta sebuah cerita tentang mengemudi di malam hari yang diakhiri dengan kalimat kritis "With the lights on, you can see more (dengan lampu menyala, Anda bisa melihat lebih jelas)”. Dalam cerita terpisah tentang melihat bintang, kalimat kritis yang sama diubah menjadi "With the lights on, you can see less (dengan lampu menyala, Anda tak bisa melihat dengan jelas)”.

Meskipun pernyataan itu akurat dalam konteks pengamatan bintang, gagasan bahwa menyalakan lampu akan menyebabkan seseorang tak bisa melihat dengan jelas adalah konsep yang jauh lebih tidak dikenal dan bertentangan dengan pengetahuan standar. Peneliti juga menyajikan versi cerita yang kalimat kritisnya ditukar sehingga tidak sesuai dengan konteks cerita.

“Misalnya, cerita tentang mengemudi di malam hari akan menyertakan kalimat With the lights on, you can see less. Mereka kemudian melihat bagaimana otak bereaksi terhadap ketidakkonsistenan, tergantung pada suasana hati,” kata Lai.

Peneliti menemukan bahwa ketika peserta berada dalam suasana hati yang negatif, berdasarkan tanggapan survei mereka, mereka menunjukkan jenis aktivitas otak yang terkait erat dengan analisis ulang.

“Kami menunjukkan bahwa suasana hati itu penting, dan mungkin saat kami melakukan beberapa tugas, kami harus memperhatikan suasana hati kami. Jika suasana hati kita sedang buruk, mungkin kita harus melakukan hal-hal yang lebih detail, seperti mengoreksi,” jelas Lai.

Partisipan studi menyelesaikan percobaan dua kali, sekali dalam kondisi mood jelek dan sekali dalam kondisi mood bahagia. Setiap percobaan berlangsung satu minggu terpisah, dengan cerita yang sama disajikan setiap kali.

“Ini adalah cerita yang sama, tetapi dalam suasana hati yang berbeda, otak melihatnya secara berbeda, dengan suasana sedih menjadi suasana yang lebih analitis,” kata Lai.

Studi dilakukan di Belanda dengan peserta adalah penutur asli bahasa Belanda, begitupun penelitian dilakukan dalam bahasa Belanda. Namun, Lai yakin temuan mereka diterjemahkan ke berbagai bahasa dan budaya.

Secara desain, peserta penelitian semuanya perempuan, karena Lai dan rekannya ingin menyelaraskan penelitian mereka dengan literatur yang terbatas pada peserta perempuan. Lai mengatakan studi pada masa depan harus mencakup representasi gender yang lebih beragam. Sementara itu, Lai dan rekan-rekannya mengatakan suasana hati dapat memengaruhi kita lebih dari yang kita sadari sebelumnya.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement