Jumat 06 Jan 2023 00:35 WIB

Bivitri: Perppu Cipta Kerja Bentuk Keculasan Pemerintah

Penerbitan Perppu Cipta Kerja dinilai bentuk keculasan pemerintah dibungkus hukum.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus raharjo
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti dalam diskusi jaringan Masyarakat Anti Korupsi (JaMAK) bertajuk Hak Angket DPR dan Komitmen Pemberantasan Korupsi di Jakarta, Ahad (7/5).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti dalam diskusi jaringan Masyarakat Anti Korupsi (JaMAK) bertajuk Hak Angket DPR dan Komitmen Pemberantasan Korupsi di Jakarta, Ahad (7/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menyampaikan kritik semakin mudahnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Terakhir, pemerintah mengeluarkan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja.

Ia menilai, dikeluarkannya Perppu Cipta Kerja ini merupakan bentuk keculasan pemerintah yang dibungkus hukum. Bivitri yang akrab disapa Bibib menilai, cara-cara seperti ini membuat rakyat repot untuk mengkritik dan mengadvokasi perlawanan karena bungkus yang dipakai hukum.

Baca Juga

Bibib melihat, sebagai negara hukum di Indonesia kerap kali digaungkan supremasi hukum, tanpa melihat isi hukum. Sebab, saat muncul sesuatu yang dibungkus hukum, walau karakter otoritarianisme, sulit membuka mata banyak orang kalau itu salah.

Terkait ini, ia merasa semua terkena prank, termasuk pegiat-pegiat perundangan yang tidak menyangka UU Cipta Kerja ini akan dikeluarkan dalam bentuk perppu. Apalagi, pemerintah sempat memberi undangan membahas revisi UU Cipta Kerja.

"Kami tidak datang agar tidak ada klaim, kami ramai-ramai menolak untuk datang, jadi kami tahu ada revisi itu. Tapi, akan dikeluarkan dalam bentuk perppu tidak ada yang tahu, kecuali orang-orang sekitar Pak Jokowi," kata Bibib dalam diskusi yang digelar Indo Progress, Kamis (5/1/2023).

Ia menekankan, perppu boleh dikeluarkan dalam konteks darurat. Diaturnya berbeda dalam prosedur keadaan biasa dan baru boleh dikeluarkan dalam hal ihwal memaksa. Tapi, karakternya otoritarianisme karena pertimbangan ada di pemerintah sendiri.

Pemerintah, lanjut Bibib, bisa mengeluarkan aturan main melanggar HAM ketika kondisi darurat. Karenanya, argumen Perang Ukraina dan lain-lain, semua bukan sesuatu yang kita lihat di depan mata, harus diatasi dan kondisinya darurat.

Itu semua sesuatu yang bisa direncanakan untuk diselesaikan. Maka itu, semua argumen itu tidak bisa dijustifikasi untuk memakai perppu. Namun, harus ada kritik buat kita karena sebelum Cipta Kerja sudah banyak perppu dikeluarkan.

Sayangnya, kita semua kurang keras menyampaikan kritik. Sebelum ini jarang yang menolak perppu seperti Perppu Kebiri dan Perppu HTI. Banyak dukungan atas dasar kebencian dan malah mengabaikan prinsip-prinsip dikeluarkannya perppu itu.

"Yang lebih menandakan keculasan pemerintah, Perppu Cipta Kerja dikeluarkan pada hari kerja terakhir menjelang tutup tahun, semua dalam suasana pesta tahun baru, bahkan draft perppu itu tidak bisa diakses pada malam tahun baru," ujar Bibib.

Baca juga :Akademisi: Penerbitan Perppu Ciptaker Merupakan Langkah Tepat

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera ini sempat pula meminta draft ke orang-orang Sesneg pada malam tahun baru, namun tidak ada yang berani memberikan. Ia merasa, ini culas karena mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Terlebih, Perppu Cipta Kerja diumumkan berbarengan dengan pengumuman PPKM yang dihentikan oleh Presiden Jokowi. Karenanya, tidak banyak yang memperhatikan dan kabar perppu lewat begitu saja. Bibib merasa, ini bentuk otoritarianisme.

"Harus hati hati, kalau kita tidak keras menyatakan ini keliru dan kita lawan terus. Karena, kalau kita agak lemah melawan, jangan kaget kalau nanti ke luar Perppu Mengundurkan Pemilu, Perppu Presiden Tiga Periode, anything possible," kata Bibib.

Baca juga : Yusril Bela Perppu Cipta Kerja

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement