Jumat 30 Dec 2022 13:11 WIB

Mengenal Sejarah Marawis

Jenis musik ini dibawa ke Indonesia oleh para pedagang dan ulama yang berasal dari Ya

Sejumlah santri menampilkan kesenian marawis saat menghadiri peringatan Hari Santri Nasional di Puskesmas Sukaraja, Banyuresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Kamis (22/10/2020). Puskesmas Sukaraja menggelar peringatan Hari Santri Nasional dengan mengundang santriwan dan santriwati Pondok Pesantren At Takwin sekaligus mensosialisasikan gerakan 3M kepada para santri.
Foto: Antara/Candra Yanuarsyah
Sejumlah santri menampilkan kesenian marawis saat menghadiri peringatan Hari Santri Nasional di Puskesmas Sukaraja, Banyuresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Kamis (22/10/2020). Puskesmas Sukaraja menggelar peringatan Hari Santri Nasional dengan mengundang santriwan dan santriwati Pondok Pesantren At Takwin sekaligus mensosialisasikan gerakan 3M kepada para santri.

IHRAM.CO.ID,Salah satu jenis musik berlatar Islam-Arab yang hingga kini masih populer adalah marawis. Jenis musik ini dibawa ke Indonesia oleh para pedagang dan ulama yang berasal dari Yaman, beberapa abad yang lalu.

Menurut Hasan Shahab, pegiat seni marawis Betawi, musik ini disebut marawis karena menggunakan alat musik khas yang disebut marwas atau marawis. ''Karena kesenian ini memakai alat musik yang namanya marawis, dari dulu orang menyebutnya sebagai marawis,'' ujar pemilik kelompok musik gambus Arrominia.

Baca Juga

Marawis adalah alat musik mirip gendang. Diameternya sekitar 20 cm dan tinggi 19 cm. Selain menggunakan marawis, alat musik tetabuhan lainnya yang digunakan adalah hajir atau gendang besar. Hajir ini memiliki diameter sekitar 45 cm dan tinggi 60-70 cm. Kesenian ini juga menggunakan dumbuk, sejenis gendang yang berbentuk seperti dandang, tamborin, dan dua potong kayu bulat berdiameter 10 cm.

Musik ini dimainkan oleh minimal sepuluh orang. Setiap orang memainkan satu buah alat sambil bernyanyi. Terkadang, untuk membangkitkan semangat, beberapa orang dari kelompok tersebut bergerak sesuai dengan irama lagu. Semua pemainnya pria dengan busana gamis dan celana panjang serta berpeci. Uniknya, pemain marawis bersifat turun-temurun. Tak heran bila sebagian besar masih dalam hubungan darah--kakek, cucu, dan keponakan. ''Nggak selalu bersaudara sih, tapi kebanyakan memang begitu,'' ujar Wahyu, pembina marawis. Dalam grup marawis binaannya, ada tujuh orang yang masih memiliki hubungan darah.

Karena berupa musik tepuk (tabuh), tak heran bila telapak tangan pun harus ikut menjadi korban. "Tangan kapalan sudah biasa, apalagi sampai sobek," komentar Muhammad Iqbal, penabuh rumbuk dalam grup Ar Rhotibiyah. Iqbal, yang telah sembilan tahun belajar menabuh musik ini, mengaku lebih suka menabuh rumbuk. "Kalau marawis itu susah, jenis-jenis pukulan yang harus dihafal banyak," ujarnya dengan logat Betawi yang kental.

Menurut Hasan, hampir di setiap daerah yang terletak di Semenanjung Melayu memiliki kesenian marawis. ''Malah, ada yang menyebut seni ini marwas. Kesenian ini telah ada sejak lama di Indonesia,'' paparnya.

Dulu, saat Walisongo menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, alat musik marawis digunakan sebagai alat bantu syiar agama. ''Marawis tak bisa lepas dari nilai-nilai religius. Awalnya, musik ini dimainkan saat merayakan hari-hari besar keislaman, terutama maulid Nabi,'' katanya.

sumber : Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement