Jumat 23 Dec 2022 16:46 WIB

Pembangunan Kebudayaan Dinilai Kurang Mendapat Perhatian

Pembangunan berbasis keragaman budaya Indonesia.

Ketua Dewan Pembina Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau, Irman Gusman, saat berbicara dalam Seminar dan Orasi Kebudayaan, yang diselenggarakan Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau, Kamis (22/12/2022) malam.
Foto: istimewa/doc humas
Ketua Dewan Pembina Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau, Irman Gusman, saat berbicara dalam Seminar dan Orasi Kebudayaan, yang diselenggarakan Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau, Kamis (22/12/2022) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG — Ketua Dewan Pembina Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau, Irman Gusman, menilai sejak Indonesia merdeka, pembangunan kebudayaan kurang mendapat perhatian.

Hal ini disampaikan Irman saat memberikan sambutan di Seminar dan Orasi Kebudayaan. Kegiatan yang diselenggarakan Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau (The Minangkabau Cultural Center) ini, diibuka oleh Gubernur Mahyeldi.

Sejumlah tokoh dan pakar kebudayaan hadir, di antaranya Ketua Dewan Pembina YPKB, Irman Gusman, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Ristek Hilmar Farid, Hasril Chaniago, Prof Nursyirwan, Prof. Musliar Kasim, Dian Anggraini dan lain lain.

"Selama lebih dari tujuh dekade, kita sibuk membangun di Indonesia, tetapi bukan membangun Indonesia,” kata Irman dalam siaran pers, Jumat (23/12/2022).

Setelah 77 tahun merdeka, menurut Irman, banyak kemajuan dalam pembangunan secara fisik. Tetapi secara kualitas dan nilai budaya, yang terjadi sesungguhnya adalah kemunduran dan kemorosotan jiwa bangsa ini.

"Kita sibuk dengan segala macam urusan pembangunan fisik, sibuk mengejar angka- angka kuantitas dalam pembangunan ekonomi, yang semuanya diukur dengan barometer-barometer teknikal,” kata dia.

Padahal hidup, menurutnya, bukan sekadar capaian angka-angka bukan sekadar urusan fisik. Pola pikir dan pola tingkah laku masyarakat Indonesia terdikte mengikuti irama dan aroma teknikal dari politik pembangunan yang kurang memperhatikan perlunya membangun manusia Indonesia secara holistik, membangun jiwa dan raga.

Pembangunan fisik tanpa didasari dan tanpa dilengkapi dengan pembangunan budaya bangsa hanya akan melahirkan kemajuan semu, pseudo progess. "Gagah di luar tetapi keropos di dalam. Di situ bangsa kita berada saat ini,” ungkapnya.

Diceritakannya, saat mendampingi Presiden SBY pada 2010, berkunjung ke Istana Bukingham dalam rangka peringatan 60 tahun bertakhtanya Ratu Elizabeth. Dikatakannya, saat itu Perdana Menteri David Cameron ungkapkan bahwa sudah timbul di sana kesadaran bahwa kemajuan pembangunan fisik ternyata tidak paralel dengan kebahagiaan masyarakatnya.

Semakin kaya seseorang, kata dia,  tidak otomatis  semakin bahagia. Justru semakin pusing. Penumpukan harta tidak menjamin terjadinya kebahagiaan, baik di dalam keluarga-keluarga, maupun dalam masyarakat. "Hidupnya tidak tenang karena takut kekayaannya berkurang atau dirampas,” kata mantan Ketua DPD RI.

Di negara maju, kata Irman, tren yang saat ini berkembang justru barometer kesuksesan sekarang adalah seberapa banyak manfaat yang diberikannya kepada orang lain. Padahal mereka bukanlah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia seperti Indonesia, tetapi mereka sedang menjalankan Hadis Nabi, bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya, bermanfaat bagi orang lain.

Sayangnya, paradigma baru itu tidak terjadi di Indonesia yang sangat paham dengan Hadis Nabi ini. Irman menduga hal ini karena terlalu jauh berjalan di luar rel kebudayaan Indonesia. "Sudah terlalu sibuk mengejar technical achievements yang hanya mementingkan hasil sambil mengabaikan proses yang semestinya. Mementingkan kuantitas, tapi mengabaikan kualitas,” ungkapnya.

Sementara Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud Ristek, Hilmar Farid menegaskan bahwa hulu dari setiap lini pembangunan Indonesia adalah kebudayaan. Pembangunan Indonesia, menurutnya, harus arif terhadap budaya itu sendiri yang sejatinya mencakup semua aspek dalam kehidupan manusia. Maka sudah seyogyanya, kebudayaan ditempatkan di hulu setiap sektor pembangunan.

Mengurai kebudayaan, kata dia, tidak hanya bicara soal seni dan tari-tarian. Menurut Hilmar,api kebudayaan berbicara tentang kehidupan yang berbasis nilai-nilai keragaman budaya Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement