Kamis 22 Dec 2022 11:05 WIB

SPKS Sebut Kemitraan Perkebunan Sawit Merugikan Petani

Masyarakat yang terikat skema plasma memperoleh bagian keuntungan sangat kecil.

Petani mengumpulkan buah sawit hasil panen di perkebunan Mesuji Raya, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan, Senin (9/5/2022).
Foto: ANTARA/Budi Candra Setya
Petani mengumpulkan buah sawit hasil panen di perkebunan Mesuji Raya, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan, Senin (9/5/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemitraan sebagai kunci kesejahteraan petani sawit hanyalah jargon semata. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menganggap, kemitraan di perkebunan sawit, terutama pola bagi hasil dalam berbagai skema termasuk manajemen satu atap telah menjerumuskan masyarakat di desa pada kemiskinan dan konflik.

Kepala Advokasi SPKS, Marselinus Andri mengatakan, dari 10 temuan utama hasil investigasi yang dilakukan The Gecko Project di perkebunan sawit, menunjukkan skema kemitraan yang selalu dijadikan success story gagal menghasilkan kesejahteraan bagi para petani di desa dan sebaliknya menjerumuskan mereka karena hilangnya pendapatan dan tanah mereka.  

Menurut dia, masyarakat yang terikat dalam skema plasma memperoleh bagian sangat kecil dari keuntungan yang bisa dihasilkan perkebunan. Berdasarkan kajian lepas yang ada, kebun plasma dapat menghasilkan keuntungan lebih dari Rp 22 juta per hektare setiap tahun.

Para petani sawit mandiri, yang menggarap kebun tanpa dukungan perusahaan perkebunan, bisa mendapat keuntungan lebih dari Rp 15 juta per hektare setiap tahun. "Namun, dari beberapa kasus plasma yang mereka selidiki, para petani itu hanya mendapatkan keuntungan rata-rata sekitar Rp 2,5 juta," kata Andri dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (22/12/2022).

Dia menilai, perusahaan mendapat banyak keuntungan dari skema kemitraan dengan petani sawit. Apalagi dalam pola bagi hasil yang mereka kelola secara penuh dari pembukaan kebun hingga pemanenan buah, misalnya melalui mekanisme penyerahaan lahan dari masyarakat mereka dapat memperluas areal konsesi.

"Agar produksi bahan baku terjamin serta biaya pembukaan lahan ditanggung masyarakat dengan skema kredit dimana perusahaan menjadi avalis," ucap Andi

Dalam catatan SPKS, pendapatan petani plasma umumnya sangat rendah bahkan kadang nihil dan tidak cukup untuk membayar angsuran hutang kredit. Kondisi itu terjadi karena rendahnya produksi dari kebun yang dikelola tidak sesuai standar agronomis yang ditetapkan pemerintah. Faktor lainnya, seperti potongan utang.

Sehingga mereka dimobilisasi tanpa transparansi melalui koperasi untuk mengajukan utang baru mengganti kerugian produksi bahkan pembayaran angsuran kredit yang pada akhirnya terjerat berpuluh puluh tahun. "Terlilit hutang dan mereka sama sekali tidak punya pilihan untuk keluar dari skema yang buruk ini," kata Andri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement