Selasa 20 Dec 2022 07:30 WIB

Pakar Hukum Ungkap Kelemahan Sistem Pertanahan Indonesia dan Malaysia

Sistem pendaftaran tanah di Indonesia tertuang dalam beberapa perundang-undangan.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Fernan Rahadi
Ilustrasi Pertanahan
Foto: dok. Republika
Ilustrasi Pertanahan

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Dekan Fakultas Undang-Undang dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Profesor Jady Zaidi Bin Hassim menjadi pemateri dalam kuliah tamu yang dilaksanakan oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (FH UMM) pada 17 Desember lalu. Pakar hukum ini menjelaskan tentang sistem pertahanan di Indonesia dan Malaysia secara mendalam.

Menurut dia, sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh Indonesia tertuang dalam beberapa perundang-undangan. Hal ini berakibat pada tumpang tindihnya kepemilikan tanah. 

Jady menjelaskan banyaknya peraturan di beberapa perundang-undangan memunculkan ketidakpastian hukum, bahkan malah menimbulkan kerugian. Ada pun pengaturan tanah di Indonesia masuk di beberapa perundang-undangan seperti Keputusan Mahkamah Agung Nomor 495 Tahun 1975.

"Kemudian juga ada di Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria (UUPA)," katanya.

Menurut Jady, pihak yang dirugikan bisa dari pemerintah yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kemudian bisa juga dari masyarakat yang kepemilikan hak atas tanahnya terancam. Kerugian ini bisa terjadi karena ada kemungkinan tumpang tindih sertifikat tanah.

Ia juga sempat membandingkan masalah tersebut dengan Malaysia. Di sana ketika seseorang memegang hak atas tanah tersebut, kepemilikan itu dianggap tidak dapat dicabut. Artinya, tidak seorang pun dapat mempersoalkan kepemilikan tanah berdasarkan hak atas tanah. Hanya orang yang sama yang dapat mengalihkan tanah melalui hak atas tanah kepada orang lain di Kantor Pertanahan.

Di Malaysia, kata dia, peraturan pertanahannya menggunakan sistem Torrens. Prinsip dari sistem tersebut adalah pemilik yang terdaftar memiliki hak tak terbantahkan. Sertifikat bisa saja digugat apabila terdapat masalah ataupun terindikasi penipuan.

"Pada peraturan pertanahan Malaysia, jika sudah lama menempati tanah tersebut semisal 10 atau 20 tahun dan tanahnya tidak didaftarkan ke pemerintah, maka dia tidak dianggap sebagai pemilik resmi. Maka penting sekali mendaftarkan tanah ke pemerintah supaya ada perlindungan," ucapnya dalam pesan resmi yang diterima Republika, Selasa (20/12/2022).

Menurut dia, isu tersebut biasanya berkaitan dengan tanah yang sangat marak dengan penipuan. Kemudian penipuannya acap berbentuk pemalsuan dokumen. Bahkan juga pemalsuan cap jari dan tanda tangan secara langsung.

Jady menunjukkan data di Malaysia mulai 2010 hingga 2019 bahwa penipuan banyak terjadi. Bahkan sebagian besar melibatkan isu tanah. Terlebih, saat ini orang lebih pandai menggunakan sistem digital sehingga memudahkan aksi untuk menipu.

Isu yang penting untuk diangkat adalah bagaimana teknologi mampu melindungi kepemilikan tanah dengan mumpuni. Ada beberapa riset dari Indonesia yang berkaitan dengan sistem informasi teknologi yang bisa melindungi kepemilikan tanah di Indonesia. Hasilnya sangat menarik karena teknologi sangat dekat dengan anak muda dibandingkan orang tua.

Sementara itu, Dekan FH UMM Tongat berharap materi yang disediakan mampu memberikan pengalaman dan wawasan baru bagi mahasiswa. "Hal ini terutama dalam sistem pertanahan yang ada di Indonesia maupun Malaysia," jelasnya.

Pada kesempatan itu pula, FH UMM dan Universitu Kebangsaan Malaysia melakukan tanda tangan kerja sama. Dengan begitu, akan ada banyak program kolaborasi yang bisa dilakukan keduanya. Kerja sama ini bisa melebarkan kesempatan mahasiswa untuk ikut pertukaran ke berbagai negara dan mendalami ilmu hukum.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement