Sabtu 17 Dec 2022 21:43 WIB

Perbedaan Hukum Menikahi Wanita Hamil

Perbedaan Hukum Menikahi Wanita Hamil

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Perbedaan Hukum Menikahi Wanita Hamil - Suara Muhammadiyah
Perbedaan Hukum Menikahi Wanita Hamil - Suara Muhammadiyah

Perbedaan Hukum Menikahi Wanita Hamil

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr.wb.

Saya mohon dijelaskan perbedaan fatwa yang berkaitan tentang menikahi wanita hamil, pada buku Tanya Jawab Agama (TJA) Jilid 3 yang boleh menikahi adalah laki laki yang menghamili, sedangkan pada buku Tanya Jawab Agama (TJA) Jilid 5 disebutkan boleh bagi laki-laki selain yang menghamili untuk mengawini. Terima kasih.

 

Wassalamu ‘alaikum wr.wb.

Angggota Muhammadiyah yang bertempat tinggal di Kauman Yogyakarta (Disidangkan pada Jumat, 7 Rabiulakhir 1443 H/12 November 2021 M)

Jawaban :

 Wa ‘alaikumus-salam wr.wb.

Mencermati informasi tentang pertanyaan di atas, kami akan menjelaskan tentang perbedaan antara fatwa dalam buku TJA Jilid 3 yang membolehkan menikahi adalah laki laki yang menghamili, sedangkan pada buku TJA Jilid 5 disebutkan boleh laki-laki selain yang menghamili untuk mengawini. Perbedaan pada TJA Jilid 3 dan 5 terjadi karena yang ada dalam TJA Jilid 3 adalah fatwa lama, sedangkan yang ada dalam TJA Jilid 5 merupakan fatwa yang dirilis setelahnya atau lebih baru, sehingga ditemukan dalil-dalil baru pada TJA Jilid 5 dibanding dengan TJA Jilid 3. Oleh karena itu sudah sepatutnya yang digunakan adalah fatwa yang terbaru.

Sebelumnya perlu ditegaskan bahwa masing masing fatwa itu tidak saling bertentangan dan tidak perlu dipermasalahkan, karena perubahan adalah hal yang tidak terhindarkan. Sebagai contoh pada TJA Jilid 3 dan 5 yang memiliki perbedaan mengenai masalah pernikahan wanita hamil, masing-masing fatwa menggunakan dalil yang sesuai dengan kondisi saat itu. Artinya, bilamana terdapat perbedaan pada fatwa yang baru dengan yang lama berarti terdapat perbedaan latar kondisinya. Selain itu, pembahasan mengenai hal tersebut berlanjut dan berkembang sehingga ditemukan dalil lain yang lebih reliabel dan sesuai dengan kondisi yang berkembang. Inilah yang disebut sebagai taghayyur al-fatwa (perubahan fatwa).

Sesuai dengan kaidah perubahan hukum yang terdapat pada buku Manhaj Tarjih Muhammadiyah terbitan Tahun 2018 pada halaman 34,

لَا يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الْأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ الْأَزْمِنَةِ وَالْأَمْكِنَةِ وَالْأحْوَالِ.

Tidak diingkari adanya perubahan hukum karena perubahan zaman, tempat, dan keadaan.

Pada  Fatwa di buku TJA Jilid 3 dapat diambil kesimpulan mengenai hukum perkawinan seorang lelaki dengan perempuan yang sedang hamil. Dalam buku tersebut memberikan penjelasan bahwa hukum pernikahan tersebut adalah tidak sah, kecuali dengan laki laki yang menghamilinya. Hal itu sesuai dengan hadis,

عَنْ رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ قَامَ فِينَا خَطِيبًا قَالَ أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ لَكُمْ إِلَّا مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَوْمَ حُنَيْنٍ قَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ يَعْنِي إِتْيَانَ الْحَبَالَى [رواه أبو داود].

Dari Rufaifi’ bin Sabit alAnsari (diriwayatkan), ia berkata ketika berkhutbah kepada kami: ketahuilah bahwa aku tidak berbicara kepada kalian kecuali apa yang aku dengar dari Rasulullah. Pada saat perang Hunain beliau berkata, tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk menyiramkan airnya kepada tanaman orang lain -yaitu menggauli wanita-wanita yang sedang hamil [H.R. Abu Dawud nomor 1844].

Adapun dalil lain yang digunakan dalam TJA Jilid 3 adalah surah at-Talaq (65) ayat 4 yang menjelaskan masa idah wanita hamil yaitu sampai dengan melahirkan. Oleh karenanya tidak sah pernikahannya yang dilakukan pada saat masih keadaan hamil, dan harus mengulang setelah melahirkan. Tetapi bila itu pernikahannya dengan lelaki yang menghamili maka hukumnya sah (Sesuai dengan kesimpulan Seminar Majlis Tarjih 1986 dengan dasar tidak termasuk dari yang dilarang dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 23).

Berbeda dengan buku TJA Jilid 5, tim fatwa dalam menyelesaikan permasalahan ini beristinbat dengan dalil yang bersumber dari Al-Qur’an terlebih dahulu sebelum merujuk kepada hadis, ijmak atau pendapat ulama. Disebutkan ayat yang berkaitan dengan masalah ini, yaitu surah an-Nur (24) ayat 3 sebagai berikut,

ٱلزَّانِى لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ [النسآء، 4: 3].

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin [Q.S. an-Nur (24): 3].

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa wanita pezina atau yang pernah berzina diperbolehkan kawin, dan pasangannya yang ideal adalah laki-laki pezina juga atau laki-laki pasangan zinanya atau laki-laki musyrik. Ayat ini masih bisa digunakan sebagai dasar kebolehan menikahi wanita hamil sebab dalam firman di atas tidak ada pembatasan, atau dengan kata lain ayat tersebut masih bersifat umum.

Kemudian dalam buku TJA Jilid 5, Tim Fatwa mendapati para ulama terbagi menjadi dua pendapat terkait menikahi wanita hamil.

Pertama, mengenai wanita hamil menikah dengan orang yang menghamilinya, Dr. Wahbah az-Zuhaili, dalam kitabnya yang berjudul Fiqh al-Islam wa Aadillatuhu Jilid 7 halaman 148 menyatakan bahwa para ulama sepakat nikah tersebut sah. Pendapat ini beralasan bahwa wanita hamil karena zina tidak mempunyai masa idah, sehingga bisa langsung menikah, sebab ketentuan berlakunya idah bagi wanita hamil yang terdapat pada Q.S. at-Talaq (65) ayat 4 hanya berlaku bagi wanita yang hamil karena pernikahan yang sah.

Kedua, wanita hamil menikahi orang baik-baik atau laki-laki yang tidak menghamilinya. Mengenai permasalahan tersebut ulama berbeda pendapat. Imam asy-Syafii dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hal itu sah, namun sang suami tidak boleh menyetubuhinya sampai dia melahirkan. Sedangkan Imam Malik, Imam Ahmad, Abu Yusuf (murid Abu Hanifah), tidak memperbolehkan perkawinan tersebut, sebab wanita hamil karena zina masih memiliki masa idah, yaitu sampai melahirkan.

Pendapat yang dipilih oleh Tim Fatwa terkait masalah wanita hamil karena zina menikah dengan laki-laki yang tidak menghamilinya adalah pendapat yang pertama. Sebab Tim Fatwa memandang bahwa wanita hamil karena zina tidak memiliki masa idah, sehingga wanita hamil karena zina bisa langsung menikah. Tim Fatwa juga memperbolehkan suami untuk menyetubuhi istrinya, sebab wanita yang telah hamil tidak akan mengalami konsepsi. Sehingga larangan untuk tidak menggauli istri itu gugur.

Pendapat Tim Fatwa di atas juga sejalan dengan Q.S. an-Nur (24) ayat 3, wa ḥurrima żālika ‘alal-mu`minīn, yang menurut Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayah al-Mujtahid bahwa para ulama berbeda pendapat tentang ayat ini. Namun jumhur ulama berpendapat bahwa ayat ini menunjukkan celaan menikahi pezina atau yang pernah berzina, bukan larangan untuk menikahi pezina atau yang pernah berzina.

Dalam ilmu kesehatan, proses kehamilan terjadi setelah terjadinya pembuahan pada sel telur. Peluang terjadinya kehamilan menjadi lebih besar jika pada saat hubungan intim dilakukan pada masa ovulasi. Namun, sebenarnya proses kehamilan bisa terjadi kapan saja selama ada pembuahan pada sel telur yang telah matang. Wanita dikatakan hamil jika pembuahan berhasil terjadi.

Peluang kehamilan menjadi lebih tinggi jika hubungan intim dilakukan pada masa ovulasi alias masa subur. Pada wanita, ovulasi umumnya berlangsung sekitar 2 minggu sebelum hari pertama periode menstruasi berikutnya dimulai. Pada masa ovulasi, indung telur atau ovarium akan mengeluarkan sel telur yang telah matang dan siap untuk dibuahi.

Kehamilan terjadi setelah sel telur matang berhasil dibuahi oleh sperma. Sel telur yang sudah matang memiliki masa hidup selama 24 jam. Dengan kata lain, jika pada waktu tersebut pembuahan tidak dilakukan, kadar hormon akan menurun dan sel telur akan meluruh, sehingga pembuahan tidak terjadi.

Pembuahan sel telur bisa terjadi dalam waktu beberapa jam atau beberapa hari setelah hubungan intim. Setelah berhubungan, sekitar 300 juta sel sperma akan dikeluarkan dan mulai memasuki Miss V. Namun, hanya sedikit dari sel sperma tersebut yang akan mencapai tubafalopi, tempat sel telur “menunggu” untuk dibuahi.

Dari sisa sperma yang berhasil masuk, biasanya berjumlah ratusan, hanya akan ada satu sperma yang bisa bertemu dengan sel telur. Sebab ketika sel telur dibuahi maka permukaan sel telur akan berubah sehingga sperma tidak dapat masuk (membuahi). Nah, pertemuan antara sperma dan sel telur ini yang menjadi awal pembuahan dan tanda dimulainya proses kehamilan.

Dari ulasan di atas, yang perlu digaris bawahi adalah pernyataan “hanya akan ada satu sperma yang bisa bertemu dengan sel telur”, sehingga bisa dipahami bahwa sel telur yang telah dibuahi oleh satu sperma tidak akan bisa dibuahi oleh sperma lainnya.

Pada akhirnya misalkan seorang wanita yang telah hamil atau sel telurnya telah dibuahi oleh sperma seorang laki-laki, maka sel telur tersebut tidak akan bisa dibuahi oleh sperma lain baik dari laki-laki yang sama atau bahkan dengan laki-laki yang berbeda.

Sehingga larangan yang terdapat pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk menyiramkan airnya kepada tanaman orang lain -yaitu menggauli wanita-wanita yang sedang hamil harus ditakwil pada arti sebelum pembuahan, karena larangan Nabi dalam hadis ini merupakan bentuk sikap preventif Nabi akan tercampurnya sel telur yang telah dibuahi yang menyebabkan kehamilan dengan sperma lain yang datang setelahnya, sekaligus agar memperjelas status bapak dari anak wanita tersebut.

Hal ini mengingat zaman itu kedokteran belum maju, sehingga kepastian kehamilan seseorang sulit diketahui, berbeda dengan zaman sekarang kehamilan dapat dipastikan lebih cepat. Sedangkan telah dibuktikan secara ilmiah bahwa sel telur yang telah dibuahi tidak dapat dibuahi kembali, sehingga wanita dalam keadaan hamil tidak akan mampu dibuahi lagi oleh sel sperma lainnya.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan pada TJA Jilid 3 dan TJA Jilid 5 merupakan taghayyur al-fatwa (perubahan fatwa) yang dilatarbelakangi oleh perkembangan pemikiran dan penemuan istidal dan dalil-dalil baru. Fatwa pada TJA Jilid 3 menyimpulkan bahwa perkawinan seorang lelaki dengan perempuan yang sedang hamil sah bila dengan lelaki yang menghamilinya. Berbeda dengan fatwa pada buku TJA Jilid 5 yang memandang perkawinan itu sah baik bagi lelaki yang menghamilinya ataupun bukan.

Sebagai informasi, fatwa mengenai pernikahan wanita hamil juga terdapat pada TJA Jilid 8 yang merupakan fatwa terbaru, yang intinya adalah wanita hamil boleh dinikahi oleh bukan laki-laki yang menghamilinya. Fatwa inilah yang terakhir yang merupakan pendapat kami.

Wallahu a‘lam bish-shawab

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 14 Tahun 2022

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement