Senin 12 Dec 2022 13:25 WIB

11 Ribu Anak Yaman Tewas atau Cacat Selama Konflik

Kelaparan dan gizi buruk ialah bencana lain yang harus turut dihadapi anak-anak Yaman

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
Anak-anak Yaman bermain di dekat tempat penampungan di sebuah kamp Pengungsi Internal (IDP) di pinggiran Sana
Foto: EPA-EFE/YAHYA ARHAB
Anak-anak Yaman bermain di dekat tempat penampungan di sebuah kamp Pengungsi Internal (IDP) di pinggiran Sana

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Dana Anak-Anak PBB (Unicef) mengungkapkan, lebih dari 11 ribu anak di Yaman telah tewas atau cacat selama konflik delapan tahun mengoyak negara tersebut. Kelaparan dan gizi buruk adalah bencana lain yang harus turut dihadapi anak-anak di sana.

“Ribuan anak telah kehilangan nyawa mereka, ratusan ribu lainnya tetap menghadapi risiko kematian akibat penyakit yang dapat dicegah atau kelaparan,” kata Direktur Eksekutif Unicef Catherine Russell, Senin (12/12/2022).

Baca Juga

Menurut data Unicef, antara Maret 2015 hingga September 2022, sudah terdapat 3.774 anak Yaman yang tewas akibat konflik. “Jumlah sebenarnya dari konflik ini kemungkinan jauh lebih tinggi,” kata Unicef.

Selain korban tewas maupun luka, Unicef mengungkapkan, konflik Yaman telah menyebabkan sekitar 2,2 juta anak di sana mengalami kekurangan gizi akut. Dari jumlah tersebut, seperempat di antaranya masih balita. Sebagian besar dari mereka pun berisiko tinggi terinfeksi kolera, campak, dan penyakit lain yang sebenarnya dapat dicegah oleh vaksin.

Cathrine Russell mengatakan pembaruan gencatan senjata merupakan langkah esensial pertama yang positif guna memungkinkan akses kemanusiaan. Dia mengungkapkan, Unicef membutuhkan dana sebesar 484,4 juta dolar AS untuk membantu mengatasi krisis kemanusiaan di Yaman. “Jika anak-anak Yaman ingin memiliki masa depan yang layak, semua yang memiliki pengaruh harus memastikan mereka dilindungi dan didukung,” kata Russell.

Kendati demikian, lebih dari penanganan krisis kemanusiaan, upaya menciptakan perdamaian di Yaman jauh lebih penting. “Pada akhirnya, hanya perdamaian yang berkelanjutan yang memungkinkan para keluarga untuk membangun kembali kehidupan mereka yang hancur dan mulai merencanakan masa depan,” ujar Russell.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement