Rabu 07 Dec 2022 00:30 WIB

FDA Menyetujui Pengobatan dengan Gunakan Kotoran Manusia, Seperti Apa Bentuknya?

Pengobatan dari kotoran manusia digunakam untuk mengobati infeksi bakteri.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Nora Azizah
Food and Drug Administration (FDA) menyetujui pengobatan yang bahannya terbuat dari kotoran manusia.
Foto: PxHere
Food and Drug Administration (FDA) menyetujui pengobatan yang bahannya terbuat dari kotoran manusia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk pertama kalinya, Food and Drug Administration (FDA) menyetujui pengobatan yang bahannya terbuat dari kotoran manusia. Pengobatan itu disebut Rebyota, berisi bakteri usus yang dikumpulkan dari donor tinja manusia yang sehat, dan disetujui untuk pencegahan infeksi bakteri yang berpotensi mengancam jiwa.

Dengan memberikan pengobatan berbentuk cair itu ke dalam rektum pasien melalui selang, dokter dapat membantu mengembalikan keseimbangan mikrobioma usus pasien, atau sekumpulan mikroba yang hidup di saluran pencernaan bagian bawah. Per 30 November 2022, Rebyota disetujui untuk digunakan pada orang berusia 18 tahun ke atas yang baru saja dirawat karena infeksi berulang dengan bakteri Clostridioides difficile, yang biasa disebut C diff. Bakteri ini dapat dengan cepat mengambil alih usus jika mikrobioma normal terganggu, misalnya, akibat penggunaan antibiotik.

Baca Juga

Orang berusia 65 tahun ke atas dengan sistem kekebalan yang lemah, mereka yang baru saja dirawat di rumah sakit atau panti jompo, menghadapi risiko infeksi tertinggi. Saat C diff berkembang biak di usus, bakteri melepaskan racun yang memicu diare, sakit perut, demam, dan radang usus besar (kolitis). Terkadang, infeksi dapat menyebabkan kegagalan organ dan bahkan kematian.

Diperkirakan setengah juta orang di Amerika Serikat terinfeksi bakteri ini setiap tahunnya. CDC juga menyebut bahwa satu dari enam pasien kemungkinan bisa terinfeksi lagi setelah dua hingga delapan pekan penyembuhan.

Infeksi berulang ini dapat diobati dengan antibiotik, tetapi obat tersebut tidak selalu bekerja melawan strain C diff yang agresif dan kebal antibiotik. Terlebih lagi, mereka dapat mengganggu mikrobioma lebih lanjut dan terkadang memperburuk infeksi. Untuk mendapatkan akar penyebab masalah (mikrobioma usus yang tidak seimbang) dokter semakin beralih ke apa yang disebut transplantasi mikrobiota tinja.

Sebelumnya, Rebyota dianggap sebagai pengobatan ‘investigasi’ oleh FDA, transplantasi ini melibatkan pemindahan feses donor yang disaring ke dalam usus pasien melalui kolonoskopi, enema, atau pil. Namun, mencari dan menyaring tinja menghadirkan tantangan, yang berarti transplantasi belum tersedia di mana-mana, dan kurangnya produk yang disetujui FDA berarti terapi seringkali tidak ditanggung oleh asuransi.

Namun saat ini, Rebyota tersedia sebagai produk mikrobiota tinja pertama yang disetujui FDA. Dalam uji klinis tahap akhir, STAT melaporkan bahwa pengobatan satu dosis mengurangi tingkat serangan C diff sebesar 29,4 persen dalam delapan pekan setelah pengobatan antibiotik, dibandingkan dengan plasebo. Dengan mempertimbangkan dua uji klinis pengobatan, tingkat keberhasilan pengobatan secara signifikan lebih tinggi pada kelompok Rebyota (70,6 persen) dibandingkan pada kelompok plasebo (57,5 persen).

"Persetujuan Rebyota ini adalah kemajuan dalam merawat pasien yang mengalami infeksi C difficile berulang," kata Direktur Pusat Evaluasi dan Penelitian Biologis FDA, Dr Peter Marks, dalam pernyataan, dilansir dari LiveScience, Selasa (6/12/2022).

Sebagai produk mikrobiota tinja pertama yang disetujui FDA, tindakan hari ini merupakan tonggak penting, karena memberikan opsi tambahan yang disetujui untuk mencegah CDI berulang. Dalam uji klinis, efek samping Rebyota yang paling umum adalah sakit perut, diare, perut kembung, gas, dan mual.

Dan meskipun feses yang disumbangkan disaring dengan hati-hati untuk patogen, perawatan tersebut membawa beberapa risiko penularan agen infeksius, dan mungkin juga mengandung alergen makanan. 

“Potensi produk menyebabkan reaksi merugikan karena alergen makanan tidak diketahui,” kata Marks.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement