Kamis 01 Dec 2022 07:08 WIB

Kopi dan Sufi Dua Hal yang tak Terpisahkan

Sastra religius perlu direvitalisasi.

Maman S Mahayana (kiri) dan Ahmadun Yosi Herfanda (tengah) mengisi acara Seminar Sastra Islam dalam rangka Pergelaran Seni Islam di Teater Kecil TIM Jakarta, Jumat (25/11/2022).
Foto:

Pentingnya reaktualisasi sastra religius

Mengawali dengan Seminar Sastra Islam, Ahmadun mengangkat topik pentingnya reaktualisasi sastra religius, dan Maman menyempurnakannya dengan menelusuri tradisi sastra Islami di Nusantara. “Perjalanan sastra Islami sangat penjang hingga ke masa kini. Perlu kita menelusur sejarah itu, dan mengenali penyair-penyairnya dengan baik,” kata Maman selaku penggagas kegiatan tersebut.

Menurut Ahmadun, sastra Islam atau sastra Islami masih meninggalkan diskusi panjang. Karena itu, dia berangkat dari istilah religius untuk menghindari batasan-batasan yang bersifat teologis. Sastra religius, menurutnya, adalah karya sastra – prosa maupun puisi — yang memancarkan semangat untuk setia pada hati nurani, serta sifat-sifat dan kehendak Yang Mahaagung.

Semangat demikian, tambahnya, bisa memancar dari karya seorang sastrawan Muslim maupun non-Muslim, seperti Mohammad Iqbal, Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, Rabiah Adawiyah, Goethe, Kahlil Gibran, Raja Ali Haji, dan Hamzah Fansuri, Abdul Hadi WM, Emha Ainun Najib, dan Lukman Asya.

Semangat religius, menurut penyair “Sembahyang Rumputan” itu, adalah semangat sastra yang paling fitrah (hakiki). Sebab,  seperti diyakini oleh Iqbal dan kalangan penyair sufi — juga ditegaskan oleh Mangunwidjaja dalam Sastra dan Religiusitas (1981) — pada mulanya segala sastra adalah religius. “Karena itu, religiusitas dapat dianggap sebagai fitrah sastra,” kata Ahmadun.

Karena itu, tegasnya, karya sastra riligius dapat      dipandang sebagai karya sastra yang mencoba untuk tetap bertahan pada fitrahnya, di tengah narasi besar sastra sekuler dewasa ini. Dengan demikian, sastra religius dapat dianggap sebagai salah satu upaya resistensi terhadap arus dereligiusitasi peradaban manusia. “Melihat surutnya sastra religius akhir-akhir ini, maka perlu direvitalisasi,” katanya.

Rangkaian acara pada hari ketiga,  Ahad (27/11/2022) malam, ditutup dengan happening art , bersama Pegayon, keliling Teater Kecil, pertunjukan doa sengkewe, sambutan wakil YHPI dan tokoh Gayo Aceh, ritual minum kopi, parade baca puisi diringi tepuk didong Pegayon dan Bahar, bersama Jose Rizal Manua, Herman Syahara, Octavianus Mahesa, Ical Vigar, Rifqi Putra, serta pertunjukan Didong bersama Fikar WEda dan Sanggar Pegayon. Devie Matahari, selaku koordinator acara, pun ikut bernyanyi di panggung pertunjukan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement