Rabu 23 Nov 2022 13:53 WIB

Piala Dunia 2022: Kala Jurnalis Media Israel tak Disambut Hangat di Qatar

Fans mengibarkan bendera Palestina di belakang wartawan Israel sebagai gestur boikot.

 Para seniman tampil sebelum dimulainya pertandingan sepak bola grup B Piala Dunia antara Inggris dan Iran di Khalifa International Stadium di Doha, Qatar, Senin, 21 November 2022. Jurnalis dari media Israel dilaporkan mendapatkan sambutan yang tak hangat di Qatar. (ilustrasi)
Foto: AP/Alessandra Tarantino
Para seniman tampil sebelum dimulainya pertandingan sepak bola grup B Piala Dunia antara Inggris dan Iran di Khalifa International Stadium di Doha, Qatar, Senin, 21 November 2022. Jurnalis dari media Israel dilaporkan mendapatkan sambutan yang tak hangat di Qatar. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani, Lintar Satria, Alkhaledi, Kurnialam

Fan sepak bola Arab di Piala Dunia 2022 di Qatar mengabaikan para jurnalis asal Israel yang mencoba mewawancarai mereka sebagai bentuk solidaritas terhadap bangsa Palestina. Penduduk Qatar dan fans yang berasal dari luar negara itu yang berkebangsaan Arab menolak untuk berbicara kepada wartawan Israel setelah mereka mengetahui di mana para reporter itu bekerja.

Baca Juga

Sebelum Piala Dunia 2022 digelar, Pemerintah Israel berharap bahwa normalisasi hubungan Israel dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain pada 2020 dan kemudian Sudan dan Maroko, bisa terus diperluas, termasuk dengan Arab Saudi. Namun, apa yang terjadi di Qatar mencerminkan hal yang tidak sesuai harapan Israel.

Seperti dilaporkan Middle East Eye pada Rabu (23/11/2022), rekaman potongan video beredar viral yang menunjukkan dua fan timnas Arab Saudi, seorang warga Watar, dan tiga warga Lebanon tak mengacuhkan reporter Israel. Sementara, fan berkebangsaan Arab lainnya mengibarkan bendera Palestina di belakang wartawan Israel sebagai gestur boikot.

 

Seorang wartawan dari Channel 13 juga mendapatkan perlakuan tak mengenakkan dari fans asal Lebanon setelah pembukaan Piala Dunia Qatar pada Ahad (20/11/2022). "Anda dari Lebanon? Saya seorang Israel!" ujar presenter Channel 13 dalam bahasa Arab.

Merespons presenter itu, fans asal Lebanon tadi langsung berlalu, namun yang satu lagi kembali sambil berkata, "Palestina, tidak ada yang namanya Israel."

Reporter Channel 13 yang lain terlihat dikelilingi oleh fans asal Palestina yang mengibarkan bendera dan berteriak, "Pulang" kepada presenter yang sedang melakukan wawancara siaran langsung dari Qatar. Rana Idris, warga Sudan yang bekerja di Doha, menegaskan, dirinya tidak mungkin menerima wawancara dari media Israel.

"Israel tidak eksis," kata Rana kepada Middle East Eye.

Negara Qatar sendiri, hingga kini tidak mengakui negara Israel. Namun, pemerintahan Qatar mengizinkan penerbangan langsung dari Tel Aviv ke Doha selama Piala Dunia yang mana pembukaan jalur itu dimanfaatkan oleh para diplomat Israel.

Sama seperti Qatar, Arab Saudi juga tidak ikut-ikutan menormalisasi hubungan dengan Isreal. Namun, sejak 2020, Riyadh mengizinkan maskapai Israel terbang di atas wilayah Arab Saudi.

Kementerian Luar Negeri Amerika Serika (AS) memuji pembukaan jalur penerbangan Tel Aviv-Doha. AS menilai, hal itu sebagai langkah menjanjikan dalam menjalin hubungan manusia dan ekonomi Arab-Israel.

Mubarak, seorang warga Qatar, mengatakan, kehadiran media Israel 'tidak diterima' oleh sebagian besar warga Qatar. Namun, mereka tetap dipersilakan datang lantaran Qatar sedang menjadi tuan rumah Piala Dunia.

"Satu-satunya cara warga Qatar menunjukkan penolakan terhadap mereka (Israel Media) adalah dengan cara mengabaikannya," kata Mubarak.

"Masyarakat Qatar menolak normalisasi dengan Isreal, seperti juga kebanyakan negara-negara Teluk. Kami tetap bersikap konservatif tentang isu ini, mengabaikan mereka adalah satu-satunya cara. Piala Dunia akan berakhir, dan mereka akan pulang (ke Israel)."

Perjanjian Normalisasi atau yang dikenal dengan 'Abraham Accords', ditandatangani beberapa bulan sebelum pemerintahan Donald Trump berakhir. Perjanjian itu menghancurkan konsensus negara-negara Arab yang sejak lama menegaskan tidak ada normalisasi dengan Israel sampai tercapainya perjanjian damai yang komprehensif dengan Palestina.

Para pemimpin Palestina pun telah mengungkapkan kekecewaan mereka dengan adanya 'Abraham Accords'. Mereka menilai perjanjian itu sebagai bentuk penghianatan atas tujuan terbentuknya negara merdeka Palestina. 'Abraham Accords' diketahui juga ditolak oleh lebih dari satu juta warga dari negara-negara Arab yang menandatangani petisi secara daring.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement