Selasa 22 Nov 2022 23:40 WIB

RUU Migas Disebut Jadi Barometer Keseriusan Transisi Energi

Investor di sektor migas sangat membutuhkan kepastian hukum.

Rep: Antara/ Red: Satria K Yudha
Salah satu blok migas di wilayah Provinsi Maluku (ilustrasi).
Foto: Dok SKK Migas
Salah satu blok migas di wilayah Provinsi Maluku (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Kalangan pengamat mendorong agar pemerintah secepatnya menuntaskan penyusunan revisi Undang-Undang Minyak dan Gas (migas). Sebab, sektor migas memiliki peran penting di masa periode transisi energi. 

Analis energi dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Putra Adhiguna mengatakan, selama periode transisi energi, migas berperan menjaga ketahanan energi Indonesia, Oleh karena itu, penting melihat keseriusan pemerintah dalam menyikapi situasi ini.

“Barometernya dari RUU Migas, jika ragu-ragu menentukan, bisa jadi transisi migas ikut terdampak. RUU Migas akan menjadi barometer seberapa serius Indonesia dalam menyikapi periode transisi tersebut,” kata Putra di Jakarta, Selasa (22/11/2022). 

Pemerintah diketahui tengah melakukan percepatan transisi energi, dari energi fosil menuju energi baru terbarukan yang bebas emisi karbon. RUU Migas menjadi elemen penting untuk mendukung terwujudnya transisi energi sekaligus menjaga ketahanan energi nasional.

Dia mengatakan, RUU Migas menjadi hal mendasar yang harus dituntaskan pemerintah untuk memberikan kepastian hukum di sektor migas. Apalagi, pemerintah memiliki target produksi satu juta barel minyak per hari (bph) dan gas sebesar 12 miliar kaki kubik per hari (bscfd) pada 2030. Namun, dengan proses RUU Migas yang tak kunjung selesai, Putra menilai hal ini akan berpengaruh terhadap pandangan investor untuk masuk ke industri migas di Indonesia.

“Rentang waktu dari investasi sampai produksi sektor migas cukup lama, bisa mencapai 5 sampai 10 tahun. Saya rasa investor sudah mulai berhati-hati melihat bukan hanya dari potensi ya, juga kepastian hukum dan kebijakan ke depan,” jelasnya.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menambahkan, jika berbicara soal transisi energi, ada dua aturan yang menjadi landasan hukum. Keduanya adalah RUU Migas dan RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) yang hingga kini belum kunjung diselesaikan.

“Sayangnya sudah menjadi kebiasaan di kita sepertinya, kita ramai-ramai di ujungnya atau permukaan saja tapi fundamental tidak tersentuh. Padahal kalau pemerintah komitmen harusnya ada payung hukum dari awal, jangan menunggu sampai ada pro-kontra setelah semua sudah jalan baru menjadi perhatian," ujar Komaidi.

Khusus untuk RUU Migas, Komaidi menambahkan beleid tersebut fundamental untuk investasi dan target lifting, sehingga perlu segera diselesaikan.

Dia mencatat, RUU Migas mulai dibahas sejak 2008 dan sudah beberapa kali dibatalkan atau mengalami proses judicial review di Mahkamah Konstitusi.

“Kenapa ya selama 14 tahun ini tidak selesai-selesai? Padahal kalau bicara migas sebagai komoditas strategis harusnya justru menjadi kesadaran bersama untuk segera diselesaikan RUU-nya karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak, seharusnya demikian sudut pandangnya,” terangnya.

Belum lama ini, Komisi VII DPR melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas). Pada forum itum kedua pihak bersepakat segera merampungkan revisi UU Migas.

Wakil Ketua Komisi VII DPR Maman Abdurrahman mengatakan RUU Migas akan dijadikan sebagai UU inisiatif DPR agar pembahasan bisa cepat rampung, paling lambat di Juni 2023.

"Jadi selesai sudah menjadi produk undang-undang, segera diselesaikan selambat-lambatnya Juni 2023 sebagai payung hukum penguatan kelembagaan dan kepastian investasi hulu migas di Indonesia," kata Maman

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement