Komisi I Minta Pemerintah Jelaskan DCA dan FIR Sebelum Ratifikasi

DCA-FIR bersama perjanjian ekstradisi merupakan paket kerja sama Indonesia-Singapura

Selasa , 22 Nov 2022, 08:14 WIB
Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin mengaku bingung dengan pemerintah soal perjanjian antara Indonesia-Singapura terkait kerja sama pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) dan flight information region (FIR). (ilustrasi).
Foto: dok. Istimewa
Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin mengaku bingung dengan pemerintah soal perjanjian antara Indonesia-Singapura terkait kerja sama pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) dan flight information region (FIR). (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin mengaku bingung dengan pemerintah soal perjanjian antara Indonesia-Singapura terkait kerja sama pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) dan flight information region (FIR). Pasalnya, DCA akan diratifikasi oleh DPR untuk menjadi undang-undang, sedangkan FIR diratifikasi oleh pihaknya lewat peraturan presiden (Perpres).

Ditambah pemerintah hingga saat ini belum menjelaskan lebih detail terkait dua perjanjian tersebut dengan Komisi I. "Kita belum jelas apakah misalnya DCA ini ada hubungan misalnya dengan FIR, FIR ada hubungan dengan ekstradisi, ekstradisi ada hubungan dengan pinjaman duit dan sebagainya, kita belum tahu nih," ujar Hasanuddin dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) pembahasan DCA, Senin (21/11/2022).

Baca Juga

Secara khusus ia mengkritisi DCA atau kerja sama pertahanan antara Indonesia dan Singapura. Pasalnya, ada alasan terkait kedaulatan negara sehingga Komisi I menolak untuk meratifikasinya pada 2007.

Di samping itu, draf RUU tentang DCA saat ini juga masih sama dengan yang ada pada 2007. Ditambah, pemerintah juga belum menjelaskan lebih detail terkait poin-poin yang akan diatur di dalamnya.

"Dipaparkan dulu seperti ini, seperti ini, apakah ini melanggar aturan ketentuan-ketentuan yang kita miliki. Dalam artian kita harus tetap mempertahankan eksistensi kita, menjaga kedaulatan kita atau kita serahkan sebagian karena hanya dapat duit dan sebagainya," ujar Hasanuddin.

Anggota Komisi I Christina Aryani juga menyampaikan bahwa DCA dan FIR ini merupakan sesuatu yang diperdebatkan. Pasalnya, DCA dan FIR bersama perjanjian ekstradisi merupakan paket kerja sama antara Indonesia-Singapura.

Hal inilah yang menimbulkan kebingungan, karena DCA dan ekstradisi akan diratifikasi DPR untuk menjadi undang-undang. Sedangkan FIR yang notabenenya satu paket perjanjian justru diratifikasi lewat Perpres.

"Kita tidak pernah tahu kenapa dipaketkan atau tidak, dan kita tidak bisa berasumsi pemerintah punya strategi, tapi kita tidak tahu strateginya, kan ini susah juga. Kita tidak bisa menebak jalan pikiran pemerintah kan," ujar Christina.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, seharusnya tiga perjanjian tersebut diratifikasi lewat undang-undang. Sehingga sebelum mendengarkan penjelasan pemerintah, Komisi I belum dapat memastikan untuk meratifikasi DCA dan FIR.

"Nah, gimana strateginya, apa kita hold DCA untuk tunggu sampai ada penjelasan detail dari pemerintah. Sehingga yang sesuatu yang bisa terima alasannya sahih bagi kita atau kita dengar dulu masukan dari ahli-ahli untuk kemudian jadi pengayaan, tapi kita hold dulu jangan kita beri persetujuan untuk ratifikasinya," ujar Christina.

Diketahui, pemerintah akan memproses ratifikasi perjanjian antara Indonesia dan Singapura, yaitu perjanjian FIR, DCA, dan perjanjian ekstradisi. Dari tiga perjanjian itu, yang akan diratifikasi dalam bentuk undang-undang ke DPR hanya dua, yakni ekstradisi dan DCA. Sedangkan perjanjian FIR akan diratifikasi dengan Perpres.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menjelaskan, dalam tata hukum di Indonesia, perjanjian internasional harus diratifikasi agar memiliki daya laku. Namun, tidak semua harus diratifikasi dengan undang-undang.

"Ada yang cukup dengan Perpres, Permen atau MoU biasa. Yang harus diratifikasi dengan UU, antara lain, perjanjian yang terkait dengan pertahanan dan hukum," ujar Mahfud.