Sabtu 19 Nov 2022 20:35 WIB

Apindo Jabar Nilai Permenaker 18 Aneh Bin Ajaib

Menurut Apindo, Permenaker 18 tentang upah minimum melawan PP tentang pengupahan.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Indira Rezkisari
Buruh pabrik berjalan meninggalkan area pabrik. Apindo Jawa Barat menyayangkan lahirnya Permenaker 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Buruh pabrik berjalan meninggalkan area pabrik. Apindo Jawa Barat menyayangkan lahirnya Permenaker 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat menyayangkan lahirnya Permenaker 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023. Permenaker 18 Tahun 2022 mengatur kenaikan upah minimum pada tahun depan maksimal sebesar 10 persen.

Menurut Ketua DPP Apindo Jabar, Ning Wahyu Astutik, Permenaker tersebut memuat formula penghitungan upah yang baru yang bertentangan dengan PP 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Hal ini mencerminkan tidak adanya kepastian hukum yang berujung ketidakpastian usaha.

Baca Juga

"Belum lagi hierarki peraturan dilanggar, bagaimana bisa Permenaker melawan PP?" ujar Ketua DPP Apindo Jabar, Ning Wahyu Astutik, Sabtu (19/11/2022).

Ning menilai, hal ini berbahaya karena peraturan yang lebih tinggi bisa dilawan oleh aturan di bawahnya. "Besok–besok bisa dong Keputusan Gubernur dilawan Keputusan Bupati? Keputusan Bupati dilawan Keputusan Camat, Trus Keputusan Camat dipatahkan keputusan pak Lurah. Bahaya sekali kan? Bagaimana hukum tata negara ini?" papar Ning.

Selain itu, kata dia, Permenaker ini pun  melanggar hasil keputusan Mahkamah Konstitusi. Yakni menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas.  "Kemudian tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja," katanya.

Menurut Ning, ia khawatir, rumusan tersebut membuat dipasritas UMK antar daerah semakin tinggi. Karena, daerah yang sebelumnya memiliki UMK melebihi ambang batas atas seperti Kabuparen Bogor, Purwakarta, Karawang, dan Bekasi, naik jauh lebih besar dibanding UMK rendah seperti Kabupaten Ciamis, Banjar, Kuningan, dan Pangandaran.

"Formula ini saya sebut aneh bin ajaib karena justru membuat UMK–UMK yang tingginya di atas ambang batas, mendapatkan kenaikan yang juga jauh lebih tinggi dibanding daerah lain," katanya.

Hal ini, kata dia, merupakan pukulan telak pada industri–industri padat karya di daerah tersebut. Padahal, pengusaha justru sudah hampir tiap tahun berjuang mendapatkan upah khusus padat karya untuk agar bisa survive.

Apalagi, kata dia, dalam kondisi Indonesia akan menghadapi resesi global 2023, di mana kemungkinan akan berimplikasi pada industri berorientasi ekspor, formula baru UMP dan UMK akan membuat industri di Jabar mengalami periode paling sulit.

Apindo, kata Ning, sangat prihatin dengan keadaan ini karena membuat semakin terpuruknya dunia usaha yang baru mulai recovery akibat pandemi Covid-19. Sehingga, kata dia, para anggota Apindo menyampaikan bahwa mereka dihadapkan pada pilihan yang sangat berat. Yakni, pengurangan pekerja atau tutup usaha.

"Apindo tetap menginginkan diberlakukannya PP 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement