Jumat 11 Nov 2022 13:06 WIB

Sri Mulyani Berkomitmen Kembalikan Angka Defisit APBN 2023 di Bawah Tiga Persen

Saat ini kondisi ekonomi Indonesia masih dihadapkan tantangan pada tahun depan.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Defisit APBN
Foto: Tim infografis Republika
Defisit APBN

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menegaskan tidak akan menunda normalisasi defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maksimal tiga persen pada 2023. Adapun kebijakan ini sejalan asumsi yang sudah dikalibrasi secara baik.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui saat ini kondisi ekonomi Indonesia masih dihadapkan tantangan pada tahun depan. Apalagi, kebijakan yang diambil cukup berisiko di tengah ketidakpastian pasar keuangan yang tinggi. 

Baca Juga

“Tidak, kami sudah menyetujuinya dengan dialog bersama DPR dalam APBN 2023 pada akhir September dan kita sudah berkomitmen untuk mengembalikan defisit ke level 2,8 persen,” ujarnya saat webinar Bloomberg CEO Forum, Jumat (11/11/2022).

Sri Mulyani menyebut pihaknya akan selalu bersiap terhadap berbagai tantangan yang ada. Hal yang sama dengan harga komoditas yang dapat naik dan turun dengan cepat, Sri Mulyani melihat hal yang sama terjadi pada produk minyak sawit Indonesia dan juga batu bara. 

“Kami optimistis pemerintah mampu mengelola dengan baik volatilitas komoditas tersebut sembari menjaga pertumbuhan ekonomi dalam negeri,” ucapnya.

Sri Mulyani pun memastikan kondisi fiskal Indonesia masih kuat dalam menghadapi ancaman the perfect storm atau krisis multidimensi yang berdampak terhadap perekonomian global. The perfect storm terdiri atas inflasi tinggi, kontraksi ekonomi menuju resesi, hingga situasi geopolitik yang tak pasti.

Menurutnya ekonomi Indonesia masih tergolong baik. Apalagi, kata Sri Mulyani, pertumbuhan ekonomi Indonesia per kuartal III 2022 sebesar 5,7 persen secara tahunan.

"Jadi bagi kami, kami harus merespons terlebih dahulu dari sisi fiskal. Tentu saja, ini di bawah wewenang saya. Kita harus memastikan bahwa fiskal kita akan cukup kuat untuk menghadapi ancaman yang berbeda atau kita menyebutnya The Perfect Storm," ucapnya.

Sri Mulyani mengakui sejauh ini dampak pandemi Covid-19, geopolitik yang terjadi karena perang antara Rusia dengan Ukraina hingga perubahan iklim masih terasa dampaknya ke perekonomian global. Maka itu, dia menekankan kondisi tersebut harus bisa diantisipasi agar tidak banyak mengganggu proses pemulihan ekonomi nasional.

"Sisi fiskal kami sekarang mengantisipasi bahwa ini akan terjadi. Kami sebenarnya berkomitmen untuk mengkonsolidasikan fiskal kami agar kami kemudian mampu menjawab tantangan baru ini yang sebenarnya terjadi hari ini," ucapnya.

Menurutnya belanja pemerintah turut terkontraksi 2,88 persen per kuartal III 2022 jika dibandingkan periode sama tahun sebelumnya karena pengeluaran pandemi Covid-19 berkurang. Hal ini mengingat  Indonesia menghadapi COVID-19 varian Delta, sehingga seluruh wilayah harus ditutup kembali, yang berimplikasi dikucurkannya tambahan jaring pengaman sosial. 

“Karena itu kontraksi konsumsi pemerintah per kuartal III tahun ini lebih kepada high based effect. Penurunan belanja pemerintah karena tahun lalu pada kuartal kedua dan ketiga pengeluaran kami, terutama jaring pengaman sosial dan pengeluaran terkait pandemi meningkat sangat besar," ucapnya.

Sri Mulyani menyebut belanja rutin pemerintah terutama infrastruktur, hingga belanja modal sumber daya manusia lainnya seperti pendidikan tetap tumbuh."Kami juga masih memiliki kuartal terakhir tahun ini, ada peluang bagi semua kementerian untuk mengejar pengeluaran mereka," ucapnya.

Ke depan Sri Mulyani berkomitmen dapat berhati-hati dalam penggunaan belanja negara. Hal ini dikarenakan defisit fiskal sudah akan diturunkan menjadi 2,84 persen dari produk domestik bruto (PDB). 

“Komitmen tersebut sudah disetujui dengan parlemen dan didasarkan pada asumsi yang dikalibrasi dengan cukup hati-hati,” ucapnya.

Sri Mulyani pun berupaya mempersiapkan segala kemungkinan, karena lingkungan global akan menjadi sangat dinamis, seperti harga komoditas terkadang terdapat kenaikan yang sangat tajam atau justru sebaliknya, misalnya minyak sawit, dan batu bara.

"Jadi kami melihat bahwa volatilitas komoditas semacam ini perlu dikelola dengan hati-hati oleh kami, tetapi momentum pertumbuhan masih perlu dipertahankan dan saya pikir kami dapat melakukannya," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement