Rabu 09 Nov 2022 18:54 WIB

Tiga Organisasi Advokat Persoalkan Obstruction of Justice dalam Draf RKUHP

Organisasi itu meminta Pemerintah dan DPR memastikan proses pembahasan RKUHP.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andi Nur Aminah
Ketua Umum DPN PERADI Luhut MP Pangaribuan
Foto: Youtube
Ketua Umum DPN PERADI Luhut MP Pangaribuan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PERADI, KAI, dan Peradi SAI mempermasalahkan rencana pengesahan RKUHP pada November 2022. Tiga organisasi advokat itu memandang draf RKUHP per 9 November 2022 belum mengakomodir rekomendasi terkait pasal-pasal pelaksanaan tugas advokat. 

Tiga organisasi advokat itu meminta Pemerintah dan DPR memastikan proses pembahasan RKUHP dalam masa sidang ini dapat menggambarkan partisipasi publik yang nyata. Apalagi ketiga organisasi advokat sudah menyampaikan secara resmi masukan terhadap draf RKUHP kepada Wakil Menteri Hukum dan HAM RI, Eddy Hiariej dan Arsul Sani. 

Baca Juga

"Di luar itu, kami juga telah memasukkan rekomendasi kami di acara sosialisasi yang dilakukan pemerintah di berbagai daerah," kata Ketua Umum DPN PERADI Luhut MP Pangaribuan dalam keterangannya Rabu (9/11/2022). 

PERADI, KAI, dan Peradi SAI menyoroti beberapa isu spesifik dalam RKUHP. Pertama, mengenai perumusan pasal obstruction of justice (tindak pidana menghalang-halangi proses peradilan). PERADI, KAI, dan Peradi SAI menilai perumusan tindak pidana obstruction of justice masih belum jelas dan tidak ketat sehingga rentan disalahgunakan oleh penegak hukum. 

Perumusan pasal tersebut dinilai minimal harus seketat yang diatur dalam Pasal 221 KUHP yang menempatkan ‘mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung proses peradilan’ sebagai tujuan pelaksanaan delik, bukan perbuatan.

"Serta menyebutkan dengan jelas mengenai perbuatan-perbuatan apa saja yang termasuk dalam kategori menghalang-halangi proses peradilan," ujar Luhut. 

PERADI, KAI, dan Peradi SAI juga memandang dalam lingkup tindak pidana obstruction of justice, perlu diatur tindak pidana 'rekayasa kasus' berdasarkan 'rekayasa bukti' dalam persidangan, atau fabricated evidence. Sebab ketentuan ini belum diatur dalam aturan sekarang secara spesifik. 

"Untuk melindungi kerja-kerja dari advokat dan kliennya, maka aturan ini sangat mendesak diatur untuk juga menjaga integritas peradilan pidana," ucap Presiden KAI, Tjoetjoe Sandjaja Hernanto.

Kedua, perumusan pasal contempt of court (tindak pidana gangguan dan persesatan proses peradilan). PERADI, KAI, dan Peradi SAI mengusulkannya sebagai delik aduan yang terbatas hanya dapat diadukan oleh hakim yang memimpin persidangan. 

"Hal tersebut penting diatur untuk memastikan agar proses dalam persidangan tidak diintervensi oleh para pihak di luar atau di dalam persidangan yang menyasar pihak-pihak tertentu dalam persidangan," tegas Tjoetjoe. 

Ketiga, mengenai tindak pidana jabatan terhadap proses peradilan. PERADI, KAI, dan Peradi SAI menyoroti lingkup pengaturan tindak pidana jabatan terhadap proses peradilan harus meliputi perbuatan-perbuatan antara lain: pemaksaan dalam memberikan keterangan, penyiksaan demi mendapat pengakuan bersalah, penggeledahan rumah atau tubuh yang melawan hukum, penyitaan yang menyalahi ketentuan peraturan perundangan, hingga perampasan kemerdekaan seseorang secara melawan hukum.

"Faktanya, perubahan pada draf terbaru RKUHP yang diserahkan oleh Pemerintah kepada DPR untuk dibahas pada 9 November 2022 masih belum sepenuhnya memperhatikan rekomendasi yang telah disampaikan," ujar Ketua Umum DPN Peradi SAI, Juniver Girsang. 

Atas dasar itulah, tiga organisasi advokat tersebut sepakat mendesak DPR dalam masa persidangan ini untuk membahas RKUHP secara substansial sekaligus mengakomodir masukan mereka. Sebab rekomendasi perumusan pasal obstruction of justice dan tindak pidana jabatan terhadap proses peradilan justru tidak ditemukan perubahan sama sekali dari draf RKUHP sebelumnya per 4 Juli 2022.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement