Selasa 01 Nov 2022 12:38 WIB

MTI Soroti Kenaikan Tarif Penyeberangan Laut di Bawah Hitungan

BHS menganggap, kebijakan Kemenhub membahayakan keselamatan angkutan penyeberangan.

kapal roro yang melayani penyeberangan ke Tanjung Uban melintas di Perairan Batam, Kepulauan Riau, Senin (3/10/2022).
Foto: ANTARA/Teguh Prihatna
kapal roro yang melayani penyeberangan ke Tanjung Uban melintas di Perairan Batam, Kepulauan Riau, Senin (3/10/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) Nomor KM 184 Tahun 2022 tentang Tarif Penyelenggaraan Angkutan Penyeberangan Kelas Ekonomi mendapat sorotan. Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jawa Timur, Bambang Haryo Soekartono (BHS) menganggap, besaran tarif angkutan penyeberangan yang ditetapkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tidak sesuai dengan yang telah dihitung bersama stakeholder perhubungan.

Merujuk Permenhub Nomor 66 Tahun 2019 tentang Mekanisme dan Formulasi Tarif Angkutan Penyeberangan, kata BHS, saat itu, tarif angkutan penyeberangan lintas dan antarprovinsi tertinggal sebesar 35,4 persen setelah penyesuaian tarif terakhir pada 2020. Dampaknya membuat tarif tertinggal jauh dari break-even point (BEP) atau balik modal.

"Ini mengakibatkan operasional angkutan penyeberangan antarprovinsi mengalami kesulitan untuk memenuhi standardisasi keselamatan dan kenyamanan pelayaran," kata BHS kepada wartawan di Jakarta, Senin (1/11/2022). Oleh sebab itu, para operator angkutan penyeberangan yang mengalami kesulitan terpaksa melakukan ajang tawar-menawar standardisasi keselamatan dengan oknum pemerintah untuk tidak melaksanakan regulasi keselamatan maupun kenyamanan pelayaran.

Pengamat kebijakan publik tersebut menuturkan, angkutan penyeberangan bisa dikatakan tidak bisa menjamin keselamatan dan kenyamanan pelayaran. Dan yang lebih mengenaskan, sambung BHS, beberapa perusahaan bahkan ada yang sulit memberikan gaji karyawan secara tepat waktu.

"Maka sumber daya manusia tersebut tentu sangat membahayakan terhadap operasional kapal karena kondisi kesejahteraannya sangat memprihatinkan. Dan bahkan ada perusahaan penyeberangan besar yang bangkrut dan diakuisisi oleh perusahaan milik negara baru baru ini," kata anggota DPR periode 2014-2019 tersebut.

BHS menyampaikan, kondisi diperparah dengan kenaikan BBM subsidi sebesar 32 persen yang belum direspon oleh pemerintah dengan perubahan tarif yang memadai. Sehingga perbedaan menuju break-even point menjadi lebih besar, karena realisasi tarif hanya naik sebesar 11 persen di Kepmenhub Nomor KM 184 tahun 2022.

"Berbeda dengan respon kementerian perhubungan terhadap moda transportasi darat lainnya dengan menyetujui kenaikan tarif rata rata berkisar 25 persen sampai 40 persen, baik logistik maupun penumpang. Dan bahkan membiarkan mereka untuk menaikkan tarif di atas 50 persen satu hari setelah kenaikan BBM subsidi," kata alumnus Teknik Perkapalan ITS tersebut.

BHS pun melihat Kemenhub melakukan diskriminasi terhadap moda transportasi laut angkutan penyeberangan. Dia menuding, kebijakan itu menyimpang dari jargon Presiden Jokowi yang sangat memperhatikan bidang maritim.

"Juga terlihat seakan akan Menhub membiarkan operator angkutan penyeberangan kesulitan. Padahal Menhub seharusnya yang bertanggung jawab terhadap keselamatan pelayaran, sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran," kata BHS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement