Sabtu 29 Oct 2022 03:25 WIB

Warisan Nabi

Warisan penting yang ditinggalkan Nabi SAW bukanlah harta.

lustrasi Rasulullah Muhammad SAW.
Foto: Republika/Mardiah
lustrasi Rasulullah Muhammad SAW.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Ilyas Ismail

Diceritakan, sepeninggal Nabi SAW, putrinya, Siti Fatimah, meminta kepada Khalifah Abu Bakar agar di berikan warisan dari harta peninggalan Nabi. Namun, Abu Bakar menolak permintaannya. Dasarnya, sabda Rasulullah SAW, “Kami para nabi tidak mewariskan harta. Apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah [milik umat].” (HR Bukhari dari Aisyah).

Baca Juga

Dalam riwayat lain, dikisahkan pula bahwa sahabat Abu Hurairah merasa heran melihat banyak orang di salah satu pasar di Madinah, yang begitu sibuk berbisnis. Lalu, kepada mereka Abu Hurairah bertanya, “Kalian di sini, tahukah kalian bahwa warisan Nabi sedang dibagikan di Masjid Nabawi?”

Mereka pun bergegas menuju masjid. Merasa tak ada pembagian warisan di sana, mereka dengan rasa kecewa kembali menemui Abu Hurairah. “Tak ada pembagian warisan di masjid,” sanggah me reka. Jawab Abu Hurairah, “Apa kalian tidak melihat di sana ada orang-orang yang sedang shalat, membaca Alquran, dan belajar tentang hukum-hukum Allah? Itulah warisan Nabi.” (HR Thabrani dari Abu Hurairah).

Dua kisah ini menegaskan kepada kita bahwa warisan penting yang ditinggalkan Nabi SAW bukanlah harta, tetapi ajaran Islam. Karenanya, ahli waris Nabi bukanlah keturunannya an sich, tetapi para ulama. Nabi SAW, seperti diungkapkan para perawi hadis ( ash-hab al-Sunan), berkata, Ulama adalah ahli waris para Nabi.

Sebagai ahli waris nabi, para ulama memikul beban dan tanggung jawab dakwah, yaitu kewajiban menyeru dan mengajak manusia ke jalan Allah, ila sabil-i rabbik(QS an-Nahl [16]: 125) melalui tabligh , amar mak ruf, dan nahi mungkar, serta beramal saleh dan ke lu huran budi pekerti (QS Fu shshilat [41]: 33). Hal inilah yang ditunjukkan sahabat Abu Bakar Shiddiq dan Abu Hurairah, dalam kisah di atas.

Belajar dari dakwah sahabat Abu Hurairah di atas maka ada dua hal yang secara absolut harus dimiliki oleh para ulama dan para dai. Pertama, hikmah, yakni ilmu dan kearifan dalam mengidentifikasi ma salah dan memberikan jawaban (solusi) yang tepat da lam mengatasi masalah ter sebut.

“Allah menganugerahkan al-Hikmah (kepahaman yang dalam tentang Alquran dan assunah) kepada siapa yang dikehendaki- Nya. Dan barang siapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.” (QS al- Baqarah [2]: 269).

Kedua, qudwah hasanah, yakni keteladanan baik dalam sikap maupun perilaku, se hing ga sang dai layak menjadi tokoh panutan ( patron client), atau model peran ( role model). (QS al-Ahzab [33]: 21).

Warisan yang sesungguhnya adalah agama dan hikmah atau kebenaran yang bersifat universal. Setiap orang beriman, setingkat dengan ilmu dan kesanggupan yang dimiliki, diminta untuk menjaga “waris an suci” ini.

Rasul Muhammad SAW bersabda, “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara [pusaka]. Kalian tidak akan tersesat selama-lamanya selagi kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitab Allah (Alquran) dan sunah Rasul.” (HR Malik, Muslim dan Ash-hab al-Sunan). Wallahu a`lam.

sumber : Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement