Kamis 27 Oct 2022 21:00 WIB

Prof Nasaruddin Umar: Sumpah Pemuda Jadi Mudah Sebab Budaya Maritim

Prof Nasaruddin Umar menyatakan Sumpah Pemuda tidak terlahir dari ruang kosong.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Muhammad Hafil
Prof Nasaruddin Umar: Sumpah Pemuda Jadi Mudah Sebab Budaya Maritim. Foto: Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar menyampaikan tausiyah saat tabligh akbar di Masjid Syuhada, Yogyakarta, Rabu (21/9/2022). Tabligh Akbar ini dalam rangka Milad ke-70 Majsid Syuhada Yogyakarta. Tema tausiyah yang dibawakan yakni membangkitkan kembali masjid sebagai pusat dakwah dan pendidikan yang mengedepankan pluralitas dan wasatiyah.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Prof Nasaruddin Umar: Sumpah Pemuda Jadi Mudah Sebab Budaya Maritim. Foto: Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar menyampaikan tausiyah saat tabligh akbar di Masjid Syuhada, Yogyakarta, Rabu (21/9/2022). Tabligh Akbar ini dalam rangka Milad ke-70 Majsid Syuhada Yogyakarta. Tema tausiyah yang dibawakan yakni membangkitkan kembali masjid sebagai pusat dakwah dan pendidikan yang mengedepankan pluralitas dan wasatiyah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Dr. Nasaruddin Umar mengatakan, Sumpah Pemuda tidak terlahir dari ruang kosong. Kesepakatan para pemuda Indonesia untuk bersatu adalah perwujudan dari budaya maritim Indonesia sebagaimana disampaikan sejarawan Prancis yang meneliti kebudayaan Indonesia, Denys Lombard.

“Itulah sebabnya Sumpah Pemuda menjadi gampang karena budaya dasarnya adalah budaya maritim dengan filosofi pantai, sungai, dan api sebagai pemersatu bangsa,” kata Nasaruddin, dalam webinar internasional bertajuk “Sumpah Pemuda dan Literasi Keagamaan Lintas Budaya: Merekat Perbedaan, Menjalin Kemanusiaan”, Rabu (26/10/2022) malam.

Baca Juga

Nasaruddin mengatakan, masyarakat maritim memiliki filosofi kepemilikan bersama untuk tiga hal yaitu pantai, sungai (air tawar), dan api. Tidak ada satu kelompok atau etnis yang berhak memonopoli ketiganya, sehingga tidak heran Indonesia menjadi Jalur Sutera, yaitu jalur perdagangan internasional kuno dari peradaban Tiongkok.

Dia mengatakan, saat ini manusia semakin modern, dan akan semakin bermartabat. Menurut dia, adanya perbedaan merupakan sesuatu yang wajar.

Kabid Pendidikan dan Pelatihan Masjid Istiqlal, Faried S Saenong mengatakan, sumpah pemuda terlahir dari adanya komunikasi yang sering dilakukan oleh para pemuda. Mereka memiliki mimpi yang besar terhadap Indonesia.

"Media komunikasi terbatas, organisasi pemuda di Sumpah Pemuda berbicara persatuan, Indonesia pada 1928 belum merdeka. Dari sumpah pemuda ada satu konektivitas luar biasa yang dibangun pemuda, kekuatan jaringan, mereka sudah memiliki semangat yang sama, (meski) keterbatasan alat komunikasi," kata Faried.

G20 Analyst dan Co-founder Indonesian Youth Diplomacy (IYD), Gracia Paramitha mengatakan, para pemuda saat ini menghadapi tantangan tumbuhnya keinginan berlebihan menunjukkan jati diri atau identitas dan disinformasi yang masif. Sumpah Pemuda menjadi semakin bermakna agar para pemuda lebih menjunjung tinggi kebersamaan dan mengesampingkan ego identitas, serta kritis dalam mengonsumsi informasi media sosial.

"Sumpah pemuda pondasi penting bagi para pemuda pemudi. Menginspirasi pembangunan, 28 Oktober ada kelompok pemuda yang beragam," kata Gracia.

Sementara Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho mengatakan, Sumpah Pemuda menjadi tonggak sejarah penting bagi kemerdekaan Indonesia, di mana para pemuda hadir mewakili organisasi suku atau daerah mereka seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, Pemuda Kaum Betawi, dan lain-lain. Uniknya, meski tidak meninggalkan identitas suku dan agama mereka, tetapi para pemuda bersepakat menghargai perbedaan dan mendahulukan kepentingan bersama.

“Ada identitas bersama yang menjadi titik temu bagi mereka untuk bersatu dan bekerja sama,” kata Matius.

Di samping itu, Finalis Y20 2022 Awards dan Ketua OSIS SMA Regina Pacis Surakarta, BRAj. Gayatri Kusumawardhani mengungkapkan, pengalamannya sebagai minoritas Muslim di sekolah Katolik memberikan pelajaran berharga untuk melihat sudut pandang orang lain dan menilai tinggi keberagaman. Gayatri berasal dari lingkungan keluarga Keraton Solo yang kental dengan kebudayaan, namun keluarganya selalu mengedepankan nilai-nilai keterbukaan.

“Pengalaman saya hampir satu tahun menjabat ketua OSIS di sekolah Katolik sebagai seorang Muslim, saya betul-betul belajar apa itu artinya memahami dan apa itu arti toleransi,” kata Gayatri yang saat ini berada di Amerika Serikat sebagai penerima beasiswa Kennedy-Lugar Youth Exchange and Study (YES) Program.

Gayatri bersama OSIS SMA Regina Pacis Surakarta menginisiasi berdirinya Rumah Baca Nawala di pusat kota Surakarta. Proyek yang teprilih sebagai finalis Y20 Award itu bermisi menjembatani kesenjangan literasi di Surakarta. Y20 merupakan kelompok para pemuda dari G20.

“Saya berusaha untuk selalu berangkat dengan semangat persatuan. Dengan semangat persatuan, saya mengesampingkan yang menjadi akar masalah perpecahan yaitu prejudice (prasangka), asumsi, dan stereotip, sebaliknya mengedepankan keterbukaan atas perbedaan,” kata Gayatri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement