Selasa 25 Oct 2022 15:08 WIB

YLBHI: Pengawasan BPOM Lemah

YLBHI menyayangkan lemahnya pengawasan BPOM terkait peredaran obat sirup.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bilal Ramadhan
Petugas Balai mengecek faktur penerimaan obat sirup untuk anak di sebuah apotek.   YLBHI Sayangkan Lemahnya Pengawasan BPOM RI  JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyayangkan lemahnya pengawasan BPOM RI dalam mengawasi peredaran obat sirop yang diduga mengandung Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG).  YLBHI pun mendesak aparat penegak hukum segera melakukan penyelidikan dugaan pidana dalam produksi dan penyebaran obat-obat sirop yang menyebabkan penyakit ginjal akut pada anak-anak dan berujung pada kasus kematian.  \
Foto: ANTARA/Asep Fathulrahman
Petugas Balai mengecek faktur penerimaan obat sirup untuk anak di sebuah apotek. YLBHI Sayangkan Lemahnya Pengawasan BPOM RI JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyayangkan lemahnya pengawasan BPOM RI dalam mengawasi peredaran obat sirop yang diduga mengandung Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG). YLBHI pun mendesak aparat penegak hukum segera melakukan penyelidikan dugaan pidana dalam produksi dan penyebaran obat-obat sirop yang menyebabkan penyakit ginjal akut pada anak-anak dan berujung pada kasus kematian. \"Kami menyayangkan lemahnya fungsi pengawasan dari Pemerintah dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pemerintah berdasarkan kewenangannya perlu segera melakukan penyelidikan terhadap perusahaan-perusahaan farmasi produsen dan penyedia jenis obat cair/sirup yang diduga mengandung Etilen Glikol dan Dietilen Glikol,\" kata Ketua YLBHI, Muhammad Isnur dalam keterangan tertulis, Selasa (25/10/2022). Jika ditemukan adanya pelanggaran hukum, maka pemerintah harus mengambil tindakan tegas berupa tindakan administratif pencabutan izin sementara atau izin tetap sesuai ketentuan Pasal 188 Ayat (3) UU Kesehatan dan diteruskan ke tahap Pro Justitia berdasarkan ketentuan Pasal 196 UU Kesehatan. Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu dapat dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. ” Selain itu, keluarga korban juga dapat menuntut ganti rugi materiil maupun non-materiil terhadap perusahaan produsen dan penyedia obat cair/sirup dan kepada Pemerintah karena kelalaiannya melakukan pengawasan sehingga menyebabkan hilangnya nyawa warga negara,\" tegasnya. YLBHI juga mengingatkan pemerintah untuk mengedepankan prinsip kehati-hatian agar penanganannya tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya terhadap anak. Oleh karena korban dalam kasus ini adalah kategori anak sebagai kelompok rentan, maka penanganannya harus memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Dian Fath Risalah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyayangkan lemahnya pengawasan BPOM RI dalam mengawasi peredaran obat sirup yang diduga mengandung Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG).

YLBHI pun mendesak aparat penegak hukum segera melakukan penyelidikan dugaan pidana dalam produksi dan penyebaran obat-obat sirup yang menyebabkan penyakit ginjal akut pada anak-anak dan berujung pada kasus kematian.

Baca Juga

"Kami menyayangkan lemahnya fungsi pengawasan dari Pemerintah dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pemerintah berdasarkan kewenangannya perlu segera melakukan penyelidikan terhadap perusahaan-perusahaan farmasi produsen dan penyedia jenis obat cair/sirup yang diduga mengandung Etilen Glikol dan Dietilen Glikol," kata Ketua YLBHI, Muhammad Isnur dalam keterangan tertulis, Selasa (25/10/2022).

Jika ditemukan adanya pelanggaran hukum, maka pemerintah harus mengambil tindakan tegas berupa tindakan administratif pencabutan izin sementara atau izin tetap sesuai ketentuan Pasal 188 Ayat (3) UU Kesehatan dan diteruskan ke tahap Pro Justitia berdasarkan ketentuan Pasal 196 UU Kesehatan.

Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu dapat dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

”Selain itu, keluarga korban juga dapat menuntut ganti rugi materiil maupun non-materiil terhadap perusahaan produsen dan penyedia obat cair/sirup dan kepada Pemerintah karena kelalaiannya melakukan pengawasan sehingga menyebabkan hilangnya nyawa warga negara," tegasnya.

YLBHI juga mengingatkan pemerintah untuk mengedepankan prinsip kehati-hatian agar penanganannya tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya terhadap anak. Oleh karena korban dalam kasus ini adalah kategori anak sebagai kelompok rentan, maka penanganannya harus memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement