Senin 24 Oct 2022 09:51 WIB

Menanti Ketegasan KPPU dalam Kasus Kartel Minyak Goreng

KPPU wajib mengawasi praktik dagang culas yang dilakukan segelintir pihak.

Rep: Erik PP/ Red: Erik Purnama Putra
Pedagang mengemas minyak goreng curah yang dijual setelah sempat langka di Pasar Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (25/5/2022).
Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Pedagang mengemas minyak goreng curah yang dijual setelah sempat langka di Pasar Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (25/5/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, Masyarakat Indonesia, khususnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) belum lama ini, dibuat kalang kabut. Hal itu lantaran stok minyak goreng di warung, minimarket, hingga pasar tradisional hilang dari peredaran.

Jika pun ada, barangnya tinggal sedikit dan langsung habis diborong pembeli. Masyarakat pun akhirnya 'menjerit' lantaran persediaan minyak goreng di pasaran semakin sulit dicari. Pada saat bersamaan, harga minyak goreng curah merangkak naik.

Hal itu diikuti minyak goreng dalam kemasan atau botol, yang biasanya bermerek dengan harga lebih mahal. Kala itu, sebagian masyarakat yang berdagang akhirnya mau tidak mau harus membeli minyak goreng, yang tersedia di pasaran.

Akhirnya, pedagang gorengan maupun warteg, misalnya, yang terbiasa menggunakan minyak kemasan terpaksa harus beralih menggunakan minyak goreng curah. Hal itu untuk menyiasati agar dagangannya tetap laku, meskipun tetap harus menaikkan harga gorengan, misalnya dari Rp 1.000 per biji menjadi Rp 5.000 dapat empat biji.

Pemerintah mencoba mengendalikan harga minyak goreng yang terus meroket, dengan menetapkan harga eceren tertinggi (HET) menjadi Rp 14 ribu per liter dari semula Rp 11.500 per liter pada pertengahan Maret 2022. Sebelumnya, ketentuan HET tertinggi minyak goreng curah Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14 ribu per liter.

Uniknya, barang yang semula langka mendadak stoknya berlimpah ketika pemerintah menaikkan HET. Di rak minimarket yang biasanya kosong tiba-tiba terisi penuh minyak goreng kemasan dan botolan. Hanya saja, harganya memang naik drastis dari yang semula Rp 28 ribu menjadi sempat menyentuh Rp 50 ribu yang berisi dua liter.

Kondisi itu jelas memunculkan kecurigaan di kalangan masyarakat. Rakyat kecil pun pasti dengan mudah bisa menganalisis apa yang terjadi. Kalau tidak ada permainan dari kekuatan besar maka situasi itu pasti tidak mungkin terjadi.

Bagaimana bisa, minyak goreng yang menjadi sebuah kebutuhan bagi ibu rumah tangga untuk memasak makanan dan pelaku UMKM, dari yang sebelumnya sulit dicari di pasaran seketika barangnya mudah ditemukan. Mengapa bisa begitu? Usut punya usut, ternyata produsen minyak skala besar sengaja menahan barang untuk tidak dilepas ke pasaran.

Kondisi itu terjadi karena produsen menahan produk karena HET yang ditetapkan pemerintah sebelumnya dianggap terlalu rendah di tengah harga kelapa sawit mentah (CPO) dunia sedang naik. Sehingga produsen lebih senang menjual keluar negeri, karena bisa mendapatkan pemasukan besar daripada melepas ke pasaran dalam negeri.

Padahal, ada aturan pemerintah terkait domestic market obligation (DMO) yang kini dinaikkan menjadi 30 persen dari sebelumnya 20 persen untuk minyak goreng dalam negeri. Namun, adanya perseroan swasta yang nakal berusaha menahan barang agar minyak goreng langka sehingga pemerintah menaikkan HET membuat konsumen yang dirugikan.

Jangan sampai kepentingan segelintir pengusaha besar membuat sekitar 270 juta jiwa penduduk Indonesia kalang kabut memenuhi kebutuhan hidupnya. Pasalnya, harus diakui, salah satu kebutuhan mendasar rumah tangga saat ini adalah minyak goreng. Masyarakat Indonesia sehari-hari terbiasa dengan menu makanan yang salah satunya disajikan dengan cara digoreng.

Betapa ironis, Indonesia sebagai negara eksportir CPO terbesar di dunia, harus mengalami kelangkaan minyak goreng. Sementara rakyatnya kesulitan mendapatkan minyak goreng, proses ekspor keluar negeri yang dilakukan perusahaan tertentu tetap berjalan. Tentu saja hal ini bisa terjadi lantaran adanya dugaan kartel yang bermain.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun mengusut laporan tentang dugaan sejumlah perusahaan yang menguasai rantai pasok minyak goreng di negeri ini. Proses persidangan sudah berlangsung. Jauh-jauh hari, KPPU sebenarnya sudah mengendus adanya dugaan kartel minyak goreng.

Dari pendataan, setidaknya ada 27 perusahaan yang terlibat penetapan harga minyak goreng secara serempak. Direktur Investigasi Gopprera Panggabean menyampaikan, lembaganya telah menyelidiki kasus tersebut sejak 30 Maret 2022.

Penyelidikan dengan perkara nomor register 3-16/DH/KPPU.LID.I/III/2022 tentang Dugaan Pelanggaran Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 terkait Produksi dan Pemasaran Minyak Goreng di Indonesia dan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 berisi Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, masih terus berjalan.

Atas dasar itu, jika memang ditemukan ada bukti maka KPPU harus berani menjatuhkan sanksi tegas kepada semua perusahaan yang diduga saling kongkalikong dalam mengontrol harga minyak goreng. KPPU wajib mengawasi praktik dagang culas yang dilakukan segelintir pihak. Tidak boleh ada keistimewaan jika ada perusahaan berskala besar maka pengusaha tersebut seenaknya sendiri tidak mengalokasikan produk CPO untuk kebutuhan dalam negeri.

Merespon hal itu, masyarakat tentu menanti vonis yang diberikan KPPU kepada produsen minyak goreng. Rasa keadilan masyarakat yang berharap banyak kepada KPPU jangan sampai disia-siakan. Karena, masyarakat, termasuk pelaku usaha menjadi pihak yang dirugikan selama terjadi minyak goreng langka.

Terbukti setelah fenomena minyak langka, tidak sedikit pelaku UMKM yang usahanya terganggu akibat tidak bisa berjualan, bahkan sampai gulung tikar. Sebagai salah satu pilar perekonomian Indonesia, UMKM harus mendapat perlindungan usaha dari gangguan rantai pasok bahan baku, termasuk minyak goreng. Sehingga ketika minyak goreng langka maka pelaku UMKM ikut menanggung kerugian.

Hanya saja, untuk membongkar kasus itu, KPPU memerlukan alat bukti lengkap. Sehingga KPPU perlu memanggil dan memeriksa produsen minyak goreng, asosiasi, pelaku ritel, dan pihak lain yang terlibat, sebelum melimpahkannya dalam proses persidangan. KPPU harus teliti dan cermat dalam mengusut masalah tersebut.

KPPU tidak boleh gentar menghadapi perusahaan raksasa yang tidak taat aturan. Karena jika tidak ada hukuman tegas yang dijatuhkan maka peristiwa serupa berpotensi terulang lagi di kemudian hari. Atas dasar itu, jika KPPU berani menegakkan aturan berlaku maka sama saja lembaga yang lahir dari rahim reformasi ini ikut menyelamatkan kepentingan rakyat banyak.

Mari kita tunggu vonis yang dijatuhkan KPPU kepada para kartel minyak goreng!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement