Kamis 13 Oct 2022 06:14 WIB

Turki: Proposal Putin Mengenai Pusat Gas di Eropa Harus Didiskusikan

Presiden Vladimir Putin dan CEO Gazprom mengusulkan pembentukan pusat gas di Turki.

Rep: Lintar Satria/ Red: Friska Yolandha
Sistem pipa dan perangkat pemutus terlihat di stasiun penerima gas dari pipa Nord Stream 2 Laut Baltik di Lubmin, Germny, Senin, 26 September 2022. Presiden Vladimir Putin dan CEO Gazprom mengusulkan pembentukan pusat gas di Turki.
Foto: Stefan Sauer/dpa via AP
Sistem pipa dan perangkat pemutus terlihat di stasiun penerima gas dari pipa Nord Stream 2 Laut Baltik di Lubmin, Germny, Senin, 26 September 2022. Presiden Vladimir Putin dan CEO Gazprom mengusulkan pembentukan pusat gas di Turki.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Menteri Energi Turki Fatih Donmez mengatakan masih terlalu dini untuk memberikan komentar pada proposal Presiden Rusia Vladimir Putin mengenai pusat gas Eropa di Turki. Tapi ia menambahkan isu itu harus didiskusikan.

Dalam forum Pekan Energi Rusia di Moskow, Putin dan CEO perusahaan gas Rusia, Gazprom Alexei Miller mengusulkan pembentukan pusat gas di Turki. Putin mengatakan Rusia dapat mengalihkan pasokan yang dimaksudkan untuk pipa gas Nord Stream yang rusak ke Laut Hitam untuk mendirikan pusat gas di Turki atau menggunakan satu bagian utuh Nord Stream II untuk memasok Uni Eropa.

Baca Juga

Donmez mengatakan itu pertama kalinya ia mendengar usulan tersebut. Ia menambahkan masih terlalu dini untuk menyampaikan penilaian.

"Ini pertama kalinya kami mendengar isu memasok Eropa melalui jalur alternatif, yang disinggung Presiden Putin dalam pidatonya, karena itu masih terlalu dini untuk membuat asesmen," katanya, Rabu (12/10/2022).

"Proyek internasional semacam ini membutuhkan asesmen kelayakan, aspek-aspek komersialnya harus didiskusikan, ini hal-hal yang perlu dibahas," tambah Donmez.  

Turki yang merupakan anggota Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) memiliki hubungan baik dengan Rusia maupun Ukraina. Ankara berusaha menyeimbangkan hubungan dengan kedua negara itu selama konflik di Ukraina.

Turki menolak sanksi-sanksi Barat yang diterapkan terhadap Moskow. Tapi juga mengkritik invasi yang Rusia sebut "operasi khusus" itu ke Ukraina dan memasok Kiev dengan drone bersenjata.

Bersama PBB, Turki menjadi penengah dalam kesepakatan ekspor gandum Ukraina dari pelabuhan Laut Hitam. Sejauh ini kesepakatan itu satu-satunya kemajuan diplomatik yang signifikan dalam perang yang sudah berlangsung selama tujuh bulan itu.

Hubungan Turki dengan Rusia cukup rumit, dua negara itu bekerja sama di banyak bidang seperti energi. Tapi berada di pihak yang berseberangan dalam konflik di Suriah, Libya dan Azerbaijan.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement